SOSOK YESUS
Kitab kuning adalah sebutan untuk
kitab-kitab Islam klasik (kutub al-qadimah) yang lazim digunakan sebagai
buku-buku teks di pesantren. Disebut demikian karena biasanya kitab-kitab itu
ditulis di atas kertas kuning berkualitas murah. Pada dasarnya apa yang
dipelajari di pesantren adalah mengupas dan mendalami isi al-Qur’an dan Hadits
Nabi Muhammad. Dengan mendalami al-Qur’an mengenai dasar-dasar keyakinan Islam,
lahirlah ushuluddin atau teologi Islam. Kitab-kitab teks yang biasanya
digunakan dalam bidang ini, misalnya Jawahir al-Tauhid karya Syekh
Ibrahim al-Baqani dan Sullamut Taufiq, karya Syeikh Nawawi al-Bantani.
Kitab-kitab Tafsir al-Qur’an yang lazim dipakai secara luas adalah tafsir Jalalain,
tafsir Munir dan tafsir Ibnu Katsir, sedangkan kitab-kitab yang
menyangkut ilmu-ilmu Hadits, antara lain: Arba’in an-Nawawiyah, Shahih
Bukhari, Bulugh al-Maram dan sebagainya.
Dari ayat-ayat al-Qur’an mengenai hukum lahiriah ilmu fiqh dengan berbagai
madzabnya. Karena di Indonesia madzab Syafi'’ yang banyak dianut, maka
kitab-kitab fiqh yang diajarkan bercorak syafi’iyyah. Untuk menyebut beberapa
saja diantara kitab-kitab itu, misalnya: Fath al-Qarib al-Mujib, Kifayat
al-Ahyar dan Safinatun Najah. Ilmu Tasawuf juga tak kalah penting,
karena melalui kajian ini seorang Muslim mendapat petunjuk untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah. Kitab-kitab yang lazim dipakai, misalnya al-Dalail
yang berisi wirid-wirid, Riyadh
ash-Shalihin, al-Insan al-Kamil, dan masih banyak lagi.[1]
Selain bidang-bidang penting di atas, tentu saja pengenalan bahasa Arab menjadi
syarat awal bagi kajian lebih lanjut. Dalam pada itulah, timbul ilmu Nahwu,
Sharaf, Bayan, Badi’, dan salah satu kitab yang lazim di bidang ini adalah Matan
Jurumiyah yang cukup terkenal itu.[2]
Pada Bab III buku ini sudah dikedepankan citra Yesus dalam kepustakaan Jawa,
terutama menunjuk kepada literatur-literatur Kejawen. Dengan mengangkat
literatur pesantren, Bab ini kiranya dapat melengkapi pandangan dari “salah
satu varian Islam Jawa” (menurut istilah Mark R.Woodward),[3]
--atau “kaum Jawa sub-kultur santri” (menurut analisis kultural Clifford
Geertz).[4]
Bagaimana sosok Yesus, atau yang lebih dikenal dengan al-Masih ‘Isa bin Maryam
itu, ditampilkan dalam kitab-kitab kuning tersebut? Secara ringkas, pandangan
pesantren mengenai Yesus dan Kekristenan dapat disebut bersifat dialectical
relationship. Maksudnya, di satu pihak ‘Isa digambarkan sebagai tokoh yang
mulia, sangat dekat dengan Allah, bahkan tradisi Islam memberikan beberapa
gelar dan peranan yang tidak diberikan kepada nabi-nabi lain, termasuk Nabi
Muhammad sendiri. Misalnya, peranan ‘Isa pada akhir zaman sebagai Hakim yang
Adil yang mengalahkan al-Masih ad-Dajjal (Anti-Christ).
Tetapi pada pihak lain, karena latarbelakang perjumpaan teologis tertentu pada
masa lalu kedua agama semitik ini, tampaknya ‘Isa berusaha keras untuk
dipisahkan dengan Kekristenan. Mengapa? Karena Kekristenan dianggap telah
menyelewengkan ajaran ‘Isa yang sebenarnya, dan Injil yang beredar sekarang
dituduhnya sudah tidak asli lagi.[5]
Tetapi terlepas dari warisan teologis masa lalu itu, melacak sosok historis
‘Isa dan peranannya dalam kesalehan normatif Muslim, lebih menarik ketimbang
mengembangkan sebuah apologi Kristiani menjawab kesalahpahaman Islam. Bahkan
masalah yang disebut terakhir ini, di kalangan tertentu sudah banyak bergeser,
seiring dengan kemajuan dialog antariman akhir-akhir ini.
Kristologi
“Kalimat Allah”di dalam al-Qur’an dan Citra ‘Isa al-Masih
Apabila
kita menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut
dicatat di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian-Nya dalam Iman Kristen,
maupun penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar
yang sama yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat
Allah (Firman Allah) yang,--terlepas bagaimana penafsiran kedua
pihak,--dikaitkan erat dengan Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam
karya Yesus.[6]
Di bawah ini akan dicontohkan ayat al-Qur’an yang memuat penegasan kedudukan
Yesus sebagai Firman Allah dan Roh Allah, dan bagaimana interpretasikan dalam
beberapa tafsir al-Qur’an:
v Al-Qur’an, s.Ali
Imran/3:39
Anna llaha
yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi kalimatin min Allah…Artinya:
Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu (wahai Zakaria) dengan
seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman dari Allah.”
Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin
min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai :
“…bi kalimatin
(kelawan Kalimat), ka’inatin min Allah (kang mujud saking Allah), ay
bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi
‘Isa iku Roh Allah), wa summi kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu
khuliqa bi kalimati kun (karana Nabi ‘Isa iku den dadekaken) bi kalimati
kun (karana kalimat Kun).[7]
Terjemahan:
“…dengan Firman
yang berwujud dari Allah, maksudnya yaitu Nabi ‘Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh
Allah, dan disebut Firman karena Nabi ‘Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!”.
Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah
(membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim,
mengutip riwayat Ibnu ‘Abbas r.a yang berbunyi:
Qala kana Yahya wa
‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya taquulu li Maryam, “Anni ajud alladzi
fii bathni yasjudu li alladzi fii bathniki”. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni
umihi, wa huwa awwali min shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa.[8]
Terjemahan:
Kata Ibnu ‘Abbas
r.a.: Yahya dan ‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah
berkata kepada Maryam: “Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku
bersujud kepada bayi yang ada di perutmu”. Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak
dalam kandungan ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran
‘Isa, yaitu ‘Isa sebagai Firman Allah.
Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan
Yahya: “disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman” (lianna llahu ahyahu
bi al-iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid,
al-Sudi, al-Rabi’ bin Anas, yang menjelaskan ciri-ciri anak yang akan
dilahirkan tersebut: “Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak
Maryam” (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam).[9]
Membaca sekilas tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya
Pembaptis sebagai seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan
bagi kedatangan-Nya (Yohanes 1:29; 3:38).[10]
Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada Siti Maryam, secara harfiah dijumpai
hampir sama dengan catatan Injil Lukas 1:39-45.
v Al-Qur’an,s.Ali
Imran/3:45
Idz qalati al-Mala
‘ikatu Ya Maryam, Inna llaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih
‘Isa bnu Maryam wajihan fi al-dunya wa al-akhirat wa min al-muqqarabin.
Artinya: “Ingatlah
ketika Malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar
gembira kepadamu dengan Firman dari Dia, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam,
yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang
didekatkan di sisi Allah”.
Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin
minhu, “satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay
waladin) tegese iku anak” (Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah
kepadamu, dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak).[11]
Sedangkan penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk
menekankan kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa. Itulah
“kristologi Qur’an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman
Allah dari Dzat-Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:
“… bi nisbatihi
(kelawan nisbate iku) ilaiha (maring Maryam) tanbina ‘ala (karana
ngelingaken satuhune Maryam) annaha taliduku (iku manake Maryam ing
anak) bi laa ab (kelawan ora nana bapa)”.[12]
Terjemahan:
“… dengan
menghubungkannya kepada Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya
Siti Maryam itu melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang
ayah.”
Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman
Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas, tetapi Islam tidak
turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman
Kristen. Ungkapan “bi kalimatin minhu” (dengan Firman dari-Nya), dalam sejumlah
tafsir al-Qur’an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr
al-makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah
(kata penciptaan kun, “Jadilah”). Meskipun demikian, berbeda dengan
makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti
Allah juga menciptakan Adam.
Meskipun teologi Islam tidak ragu-ragu menolak keilahian Yesus, tetapi pada
abad-abad kemudian gema dari perdebatan gereja mengenai kekal atau tidaknya
Firman Allah itu dipentaskan kembali, dan diterapkan untuk memahami al-Qur’an sebagai
Kalam Allah. Karena penekanan bahwa makhluk atau tidaknya Kalam Allah tersebut,
maka selanjutnya teologi Islam lebih dikenal sebagai Ilmu Kalam, sebagaimana
dikatakan oleh Syekh Muhammad ‘Abduh:
Wa qad yusama ‘ilm
al-kalami, anna lianna asyhara mas’alatin wa qa’a fiha al-khilaafu baina
‘ulama’I al-quruni al-ula, hiya ‘anna kalam allah almatluwwa haditsu aw
qadiim.
Artinya: “Kadang-kadang disebut ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur
dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama Islam pada
abad-abad pertama Hijrah, yaitu mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu
baru ataukah qadim (kekal).[13]
Ibnu Jahm, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengejek para pengikut Iman
al-Asy’ari yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa
al-Jama’ah, dengan kata-kata yang cukup menarik dibandingkan dengan
pergumulan teologis Gereja ketika menghadapi kaum Arianisme:
Saya menemukan sebuah
ayat dalam Firman Allah untuk membuktikan bahwa al-Qur’an itu diciptakan.
Demikianlah Firman Allah: “Al-Masih ‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan
Firman-Nya”. Nah, kalau ‘Isa disebut Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia
itu diciptakan, mengapa pada saat yang sama kita tidak mengatakan bahwa
al-Qur’an itu juga ciptaan?[14]
Selanjutnya dalam rangka menghadapi Mu’tazilah tersebut, al-Asy’ari mengenalkan
dalil bahwa “Sifat-sifat Allah itu tidak sama dengan Dzat tetapi juga tidak
berbeda dengan Dzat-Nya” (ash Shifat laysa al-Dzat wa laa hiya ghairuha).
Kalau kita cermati, sebenarnya dalil ini sangat dekat dengan kristologi gereja
mengenai kekekalan Firman Allah, yang dalam iman Kristen wujud temporal-Nya
dikenal dalam kemanusiaan ‘Isa al-Masih, sedangkan dalam Islam nuzul menjadi
al-Qur’an.
Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak
pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an-nasut (sepenuhnya ilahi dan
sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal al-Qur’an sebagai kalam nafsi
(kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk
paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities
of Islam,[15]
menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan al-Qur’an, dan posisi Nabi
Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam yang juga
menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.
Kedudukan
‘Isa: wajihan fii al-dunya wa
al-akhirah
wa min al-muqarrabin
Selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna “wajihan fii al-dunya wa
al-akhirah” (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah
seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan
kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan
kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa
fii dar al-akhirati yusyafa’I ‘indallah fii man bi-idzini lahi fihi).[16]
Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula dalam tafsir Jalalain: “… fi
al-dunya bi al-nubuwwati, wa al-akhirat bi-syafa’ati wa al-darajat al-ula:
tegese kagungan ing alam dunya klawan kenabian, lan ing alam akhirat klawan
syafaat dan pira-pira derajat kang luhur”.[17]
Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di dunia karena ia dikarunia kenabian, dan
di akhirat dengan syafaat dan derajat yang tinggi.
Selanjutnya, makna wa min al-muqarrabin (dan termasuk dari yang
didekatkan), dalam tafsir Jalalain dibubuhkan keterangan: ‘indallah(di
sisi Allah). Jadi, ‘Isa termasuk seorang diantara yang didekatkan di sisi
Allah. Sedangkan 2 tafsir lainnya, yaitu Marah Labid Tafsir al-Nawawi dan
Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas, menjelaskan bahwa ‘Isa berada
di surga ‘Aden.
“Wa min al-Muqarrabin” (dan termasuk yang didekatkan)”, demikian Tafsir
Ibnu ‘Abbas, “ila llah fii janat ‘and” (kepada Allah di surga ‘Aden).[18]
Sedangkan dalam tafsir Munir kita membaca keterangan bahwa ‘Isa
didekatkan: ‘ila ‘isa sirafa ‘ila as-sama’ wa tashahabal al-mala’ikah
(kepada Allah di surga ‘aden, dan hal itu menunjukkan seperti nubuatan yang
terjadi atas ‘Isa yang diangkat ke langit dan bersahabat dengan para malaikat).[19]
Dalam al-Qur’an selain dalam kata al-Muqarrabun dihubungkan dengan
malaikat terdekat Allah (Q.s. an-Nisa’/4:172, “al-al-malaikat al-muqarrabun”),
dalam satu ayat dihubungkan kitab catatan orang-orang yang berbakti, yang
disebut ‘illiyyin.20
Wa maa adzra ‘aka maa ‘iliyyun? Kitabun marqum, yasyhaduhu al-muqarrabun.
Artinya:”Tahukah kamu apakah illiyin itu? Itulah kitab tertulis, yang
disaksikan oleh al-muqarrabun (Q.s. al-Muthaffifin/83:18-21). Syeikh
Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan : ay yasyhadu al-mala’ikat
al-muqarrabun (yaitu disaksikan oleh malaikat-malaikat yang terdekat dengan
Allah).21
Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan
‘Isa (Q.s. ali-Imran/3:45), maka Imam al-Ghazali juga menghubungkan Yesus
dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis
dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:
Faa man ‘alima (maka sapane wong
kang weruh) dzalika (wong iku ing mangkono-mangkono) wa ‘amila bihi
(wong kelawan ilmu) tsumma ‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da’a
ilaihi (lan ngajak-ajak wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi
mangkono-mangkono) yud’u ‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi
malakut as-samawat (ing dalem kraton pira-pira langit) bi syahadati ‘Isa
‘alaihi assalam (kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam).22
Terjemahan:
Sebab bagi siapapun
yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan
mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan
langit dengan disaksikan oleh Nabi '’Isa alaihi salam.
Kitab yang dimaksud oleh al-Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan
ilmu-ilmu Agama), yang memuat berbagai-bagai bidang dan sudah diterbitkan
ribuan kali. Lebih-lebih, di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat
dominan, sehingga kitab-kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ungkapan
yang disebut dalam kitab Bidayat al-Hidayah yang kita kutip di atas,
ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin yang diredaksikan
sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:
Wa qala ‘Isa
shalallahu ‘alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam).23
Man(utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala (lamun iku pinter lan
nglakoni ilmu) wa ‘amala (lan mulangna) faa dzalika yud’u ‘adziman
(mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat
(ing alam malakut ana ing langit).24
Terjemahan:
Bersabda ‘Isa
shalallahu ‘alaihi wassalam: “Barangsiapa yang menguasai ilmu dan
melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu
akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.
Kesucian
Yesus dan Peranannya sebagai
Teladan
Kesalehan Muslim
Secara teologis, dengan memisahkan Yesus dari agama Kristen, Islam dapat
mengembangkan pandangannya sendiri secara khas, khususnya secara etis dengan
mengambil sosok ‘Isa sebagai salah satu teladan kesalehan Muslim. Lebih-lebih
dari perspektif sufi, yang bersamaan dengan penegasan bahwa Muhammad adalah
“puncak kenabian”, tanpa keberatan apapun ‘Isa digelari “puncak kesucian”.
Dalam konteks inilah, kita membaca narasi-narasi mengenai ‘Isa dalam literatur
pesantren, yang dalam beberapa hal juga menggemakan kembali kisah-kisah dalam
Injil.
v Al-Maidah: Mukjizat
al-Masih Menurunkan Hidangan dari Langit
Salah satu contoh,
sebuah kisah mengenai mu’jizat ‘Isa mendatangkan makanan dari sorga. Memang,
dasar kisah ini juga dijumpai dalam al-Qur’an, bahkan surah kelima dinamakan
dengan al-Maidah (Hidangan). Latar belakang injil dari kisah ini adalah
Perjamuan Malam, yang juga menjadi sentralitas iman Kristen dan mendasari
perayaan ekaristi (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20). Dalam
Islam kisah ini diambil, tetapi makna sakramentalnya yang berpusat pada
pengorbanan ‘Isa al-Masih, sudah barang tentu tidak turut diambil alih.
Dalam kitab Duratun
Nashihin, karya ‘Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, memuat pengembangan
kisah yang dimuat dalam Q.s. al-Maidah/5:111-115. Dikisahkan bahwa memenuhi
permintaan kaumnya, ‘Isa berdoa kepada Allah dan hidangan itu memang
benar-benar turun dari langit. Lalu ‘Isa berdoa, sementara hidangan berwarna
merah itu turun diantara awan-awan: Allahuma aj’alhun minasy syakirin. Allahuma
aj’alha rahmatan lil ‘alamin, wa laa taj/alha matslatan wa ‘uqubatan.
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur. Ya
Allah, jadikanlah hidangan itu sebagai rahmat untuk semesta alam, dan jangan
jadikan sebagai bencana dan siksaan”.25
Setelah mengambil air wudhu untuk sembahyang, sambil menangis Yesus berkata
kepada murid-murid-Nya: “Siapa diantara kamu yang baik amalnya, silahkan tegak
membuka hidangan itu, dengan menyebut nama Allah dan memakannya”. Tetapi Simon
(Syam’un), salah seorang tokoh dari kaum Hawariyin itu, mengatakan kepada
Yesus: “Engkau yang utama membukanya”. Maka ‘Isa pun berdiri untuk sembahyang,
ia menangis sambil membentangkan sapu tangan dan membaca kalimat: Bismillahi
khair ar-raziqin (Dengan Nama Allah Pemberi rezeki yang paling baik).26
Kisah ini kemudian disambung dengan mu’zijat penggandaan makanan yang dinikmati
oleh orang-orang miskin secara merata sampai 40 hari lamanya.
Membaca contoh kisah tersebut, kita diingatkan dengan beberapa penggalan kisah
dalam Injil dan disatukan. Doa yang berlatarbelakang liturgi Seder
Yahudi mengenai pembebasan dari Mesir, dan oleh Yesus dianggap telah digenapi
dalam pengurbanan-Nya sendiri, di sini menjadi sekedar doa ucapan syukur kepada
Allah sebagai sebaik-baik pemberi rezeki. Sedangkan pengakuan Petrus bahwa ‘Isa
adalah al-Masih, Putra Allah yang hidup (Matius 16:16), yang dalam Injil
terjadi dalam konteks lain dimasukkan dalam mukjizat al-Maidah tersebut. Dalam
kasus ini, dapat disimpulkan bahwa kisah-kisah Yesus ini, sekalipun menggemakan
kisah-kisah dalam Injil, tetapi dengan melakukan reinterprestasi khas Islami
pandangan teologis Kristen itu tidak membebani lagi untuk mengangkat sosok
Yesus secara bebas dan kreatif dalam rangka kesalehan Muslim sendiri.
Sebagai catatan akhir, sang pengarang menutup kisah di atas dengan penekanan
moralitas Islam yang berbunyi sebagai berikut:
Ya ayyuhal ikhwan (He para sedulur) sa’ala
qauma ‘Isa min ‘Isa ‘alaihissalam thamaman (nyuwun sapa kaume Nabi ‘Isa
saking Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ing panganan) faa sa’aluu ‘aqiiba shaumukun
(mangka padha nyu-wuna sira kabeh ing dalam sakwuse pasanira kabeh) rahmatullah
wa maghfiratuhu (ing rahmat Allah lan pangapurane Allah).27
Terjemahan:
“Wahai saudara-saudara,
kaum Nabi ‘Isa minta kepada Nabi ‘Isa alaihissalam sekedar makanan, tetapi
mintalah kalian semua, yaitu pada penghujung puasa kalian semua rahmat Allah
dan pengampunan dari Allah).
v Sabda-sabda Yesus
dalam Kitab Kuning
Sejumlah amsal yang
dihubungkan dengan ‘Isa al-Masih juga bertebaran di sejumlah kitab kuning, yang
sebagian menggemakan ayat-ayat Injil. Misalnya, dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin
al-Ghazali menulis bahwa Yesus melarang seorang meletakkan ilmu hikmat kepada
yang bukan ahlinya. Sebaliknya, kita tidak boleh menghalangi seorang yang
memang berkompeten untuk hal itu untuk mengajarkannya. Pada akhir sabda Yesus
tersebut, kita membaca ungkapan yang mirip sabda Yesus tersebut, kita membaca
ungkapan yang mirip dengan Matius 9:12; Markus 15:38 dan Lukas 5:31. Sabda
Yesus itu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin berbunyi sebagai berikut:
Kalthabibi (kaya dokter) al-rrafiqi
(kang tumindak alus) yadda’u al-ddawa’a (nyelehake sapa tabib ing tamba)
fi mudhi’I al-dda’I (ing dalem panggonane penyakit)28
Terjemahan:
Hendaklah kamu
bertindak seperti seorang tabib yang penuh kehalusan (kasih sayang) meletakkan
obat pada tempat yang sakit.
Demikian pula dalam kitab Bidayat al-Hidayah Imam al-Ghazali juga mencatat
sabda Yesus yang sekilas membayangkan pergumulan-Nya saat kematian pada waktu
mengadakan perjamuan malam dan di taman Getsemani:
Allahuma (Huwa Allah) la
tusymitni aduwwi (ampun ngantos bungahaken Tuwan sebab kula ing musuh
kula), wa la tasu’ni fi shadiqi (lan ampun nyusahken Tuwan sebab kula
ing kanca kula) wa la taj’al musibati fi dini (lan ampun ndadosken Tuwan
ing musibah kula ing dalem agama kula).29
Terjemahan:
Ya Allah, janganlah
Engkau membiarkan musuhku bergembira melihat penderitaanku, dan jangan pula
Engkau membiarkan temanku bersedih melihat penderitaanku. Janganlah Engkau
menimpakan musibah kepada iman atau agamaku.
Ungkapan pertama kiranya khas seperti doa-doa dalam Mazmur (Mazmur 25:2-3;Lukas
23:33-42). Sedangkan doa berikutnya yang menyebut identitas agama, agaknya
merupakan formulasi Islam atas doa Yesus yang mengutip Mazmur: Eloi, eloi
lamma sabakhtani. Ya Ilahi, ya Ilahi, Mengapa Engkau meninggalkan aku
(Mazmur 22:2;Markus 15:34). Tetapi kemiripan-kemiripan itu sama sekali tidak
terlalu berarti secara teologis, karena pada dasarnya Islam menyangkal jalan
salib Yesus. Karena itu, doa-doa semacam ini dipindahkan sebagai sebuah
ungkapan pergumulan manusiawi secara umum, tidak harus merujuk kepada
penyaliban.
Selanjutnya, dalam Ihya ‘Ulumuddin kita juga membaca ungkapan Yesus,
yang sepintas membayangkan kisah simbolis Injil mengenai pohon ara yang tidak
berbuah (Matius 21:18-22) sebagai berikut:
Qala ‘Isa ‘alaihi
salam: Maa aktsaran al-syajara wa laisa kulluha bimutsrin, wa maa atsaran
al-tsamara wa laisa kulluha bithaybin, wa maa atsaran al-muluma wa laisa
kulluha nafi’
Terjemahan:
Sabda ‘Isa
alaihissalam: “Alangkah banyaknya pohon dan tidak semua berbuah, alangkah
banyaknya buah-buahan dan tidak semua boleh dimakan, dan alangkah banyaknya
ilmu pengetahuan dan tidak semua berguna.30
Masih banyak kisah-kisah kesalehan Muslim dalam Ihya ‘Ulumuddin yang
secara tidak langsung menggemakan kembali kisah-kisah Injil mengenai pelayanan
Yesus. Misalnya, al-Ghazali mengisahkan mukjizat Yesus menyembuhkan penyakit
kusta. Dikisahkan bahwa ‘Isa alaihissalam melihat seorang penderita kusta
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan saya dari banyak hal
yang telah menimpa orang lain”. “Engkau bebas dari kesengsaraan apa?”,tanya
‘Isa kepadanya. “Roh Allah”,jawab penderita kusta itu, “Saya lebih beruntung
ketimbang mereka yang tidak mengenal Allah”. “Engkau berkata benar”,kata ‘Isa
lagi, “ulurkanlah tanganmu”. Orang itu mengulurkan tangannya dan seketika
sembuh atas rahmat Allah.31
Dalam rangka teladan kehidupan zuhud, khususnya di kalangan kaum sufi, sosok
Yesus mengambil peranan cukup penting, ketimbang yang terbaca dalam tulisan
polemik akhir-akhir ini, yang sering menutup-nutupi keagungan Yesus hanya
karena khawatir akan dijadikan dalil untuk mendukung Kekristenan. Dalam
al-Qur’an sendiri, ‘Isa dan ibunya Maryam memang terlindung dari jamahan setan
(s.Ali Imran/3:36). Dalam penjelasannya atas ayat ini, Tafsir Jalalain mengutip
Hadits Riwayat Syaukan: Ma min mauludi yuladu ila massahu asy-syaithan haina
yuladu fayastahilla sharikhan ila maryam wa ibnaha. “Tidak ada seorang pun yang
ketika lahirnya tidak disentuh oleh setan sehingga bayi itu menangis, kecuali
Maryam dan anaknya”.32
Ide ini sebenarnya mengingatkan sifat imaculata (cf.Liturgi Kristen
Arab: bi-ghayr al-fasad wulidtu Kalimat Allah,”ketidakbernodaan Maryam
ketika melahirkan Firman Allah”),supaya Yesus yang secara fisik disebut “buah
rahim” Maryam (Lukas 1:42) benar-benar terjaga kesucian-Nya.
Sindroma
Salib dan Sekitar Kematian
‘Isa
al-Masih dalam al-Qur’an
Gambaran al-Qur’an dan kitab-kitab kuning mengenai keagungan ‘Isa sebagaimana
yang dikemukakan di atas, pada akhirnya toh harus dibedakan dengan iman Kristen
yang dianggap telah menyimpangkannya. Salah satu masalah yang menjadi
perdebatan klasik Islam-Kristen adalah masalah akhir kehidupan ‘Isa, khususnya
mengenai kematian-Nya di kayu salib. Padahal, seperti diakui oleh komentator
tertua al-Qur’an, Ibn Jarir ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fii Tafsir
al-Qur’an, berbagai penafsiran itu tidak pernah memuaskan. Bahkan banyak
penafsir Islam yang keberatan dengan teori penggantian itu berdasarkan prinsip
keadilan Ilahi.33
Misalnya, teori penggantian di kayu salib oleh orang lain (Simon dari Kirene,
Yudas Iskariot) yang didasarkan atas surah an-Nisa’/4:157-158, tidak selalu
memuaskan para penafsir Islam sendiri, karena secara gramatikal tidak cocok
dengan maksud tersebut. Pertama, kalau seorang menggantikan Yesus
mestinya digunakan kata ganti diri ketiga tunggal. Jadi, lakin syubiha lahu (melainkan
yang disamarkan bagi dia) dan bukan lakin syubiha lahum (melainkan yang
disamarkan bagi mereka). Kedua, ayat ini tidak menggunakan bentuk fi’il
mar’ruf dengan subyek penjelas, melainkan bentuk fi’il majhul yang
tidak menjelaskan siapa penggantinya.34
Munculnya teori penafsiran baru di kalangan sekte Ahmadiyyah, yang mengemukakan
bahwa Yesus mati secara wajar dan kuburan-Nya ditemukan di India,35
karena ketidakjelasan berita al-Qur’an sendiri mengenai akhir kehidupan ‘Isa al-Masih.
Sebab selain ayat-ayat al-Qur’an menegaskan kenaikan ‘Isa ke langit,
pemberitaan mengenai kematian riil-Nya juga tidak kurang tegas. Teori
penggantian yang lebih populer diajarkan dalam kitab-kitab kuning dan dianut
kebanyakan umat Islam, juga mendapatkan ganjalan dari ayat-ayat yang menegaskan
kematian-Nya. Karena itu, ungkapan “mutawaffika” (mewafatkan engkau)
dalam surah Ali Imran/3:55, dalam sepanjang sejarah tafsir diartikan secara
berbeda-beda. Ada yang mengambil makna “menidurkan”,”memegang dan
menyempurnakan”, yaitu terkait dengan pengangkatan ‘Isa tanpa mengalami
kematian di kayu salib sesuai dengan surah an-Nisa’/4:157-158.
Sementara itu para penafsir lain mengatakan bahwa ungkapan tawaffa
adalah penghalus dari kata “mati”. Jadi mutawaffika maksudnya mumituka
(mematikan engkau). Tafsir Ibnu Katsir,Jilid I, mengutip pendapat-pendapat
‘Ulama terdahulu yang menganut paham bahwa ‘Isa sudah mati, antara lain
pendapat Qatadah:
Inni rafi’uka
‘illaya wa mutawaffika, ya’ni ba’da dzalika.36
Artinya: “Aku akan
mengangkat engkau lebih dahulu kepada-Ku dan kemudian Aku mewafatkan engkau
sesudah itu.”
Makna ini diterima juga oleh Ibnu Abbas r.a menurut riwayat Ali bin Abi
Thalhah, tanpa menjelaskan kapan matinya: Inni mutawaffika ay mumituka.”Aku
mewafatkan engkau, yaitu mematikanmu”. Juga, Wahb bin Manabbih menurut riwayat
Ibnu Ishaq, mengatakan: tawaffihi llahi tsalatsa sa’at min awwal al-nahaar
haina rafa’ihi ilaih. “Allah mematikan dia selama tiga hari, kemudian
dihidupkannya kembali dan kemudian diangkatnya ke sisi-Nya”.37
Dari riwayat-riwayat tersebut, dibuktikan bahwa pada waktu dahulu masalah yang
dihadapi umat Islam sebenarnya bukan pada penyangkalan akan kematian ‘Isa
sendiri, baik yang dipercayai akan terjadi pada akhir zaman, maupun banyak
riwayat lain yang justru membuktikan bahwa kematian itu telah terjadi, tetapi
Allah menghidupkan kembali dan kemudian mengangkat ‘Isa ke sisi-Nya. Hal ini
sesuai dengan kata qabla mautihi (“sebelum kematian-Nya”) dalam surah
an-Nisa’/4:159 yang menegaskan kematian ‘Isa al-Masih. Para
penafsir al-Qur’an biasanya mengartikan kematian ‘Isa al-Masih itu terjadi pada
hari kiamat. Dengan demikian tafsiran ini disesuaikan dengan eskatologis hadits
yang menantikan kedatangan kembali ‘Isa pada akhir zaman untuk mengalahkan Dajjal,
dan kematian itu terjadi setelah ‘Isa menyelesaikan tugasnya sebagai Hakim yang
adil.
Jadi, ‘Isa belum mati pada masa dahulu, tetapi akan dimatikan Allah pada hari
kiamat. Tetapi kata yang mendahului ayat di atas: layu’minuna bihi (sungguh-sungguh
beriman kepada ‘Isa) di sini secara gramatika bukan menunjuk masa depan (istiqbal,
future tense) melainkan menggunakan kata kerja masa kini (mudhari’)
meskipun kejadiannya pada masa lalu. Dengan demikian, berimannya kaum ahli
Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam ayat tersebut terjadi pada masa hidup ‘Isa
bukan pada akhir zaman nanti.38
Dari uraian sekilas tersebut, persoalan sebenarnya pada sindroma salib, yang
agaknya mendapat dukungan dari surah an-Nisa’/157-159, meskipun ayat itu makna
sebenarnya masih kabur, dan konteksnya bahkan tidak sedang membicarakan iman
Kristen, melainkan reaksi atas kesombongan orang Yahudi. Salah satu buktinya,
para penafsir kuno tidak pernah keberatan bahwa ‘Isa sudah mati pada zamannya,
dan Allah telah membangkitkan kembali pada hari ketiga, asal saja kematian itu
tidak terjadi di kayu salib.
Dari uraian di atas, barangkali latar belakang ini dapat menjelaskan sindroma
“salib Kristus” di kalangan masyarakat Islam yang sangat mewarnai penilaian
mereka terhadap Kekristenan. Salah satu kitab kuning yang mungkin merekam salib
tersebut, dapat disebut misalnya Ta’lim al-Muta’allim, karya Syeikh
Zanuji, sebagai kitab panduan belajar santri yang sangat terkenal di pesantren:
Wa amma (anapun utawi) asbabu
(pira-pira sebab) bisyani al-‘ilmi (lali marang ilmu) fa aklu
(mangka iku) al-kuzbati (mangan tumbar) al-rrathbati (kang isih
teles) wa aklu al-tufaa’i (lan mangan buah-buah) al-haamidl (kang
kecut) wa nanthararu (lan ningali marang wong) ila al-mashlub (kang
dipentheng)…39
Terjemahan:
Adapun
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan orang gampang lupa menghafal ilmu, antara
lain makan tumbar yang masih mentah, buah-buahan yang masam dan melihat kepada
salib …
Apakah karena dilatarbelakangi “sindron salib” ini, yang begitu kuat tanpa
disertai tafsiran yang cukup bernilai historis mengenai akhir hidup Yesus, dan
yang masih diperuncing oleh warisan perjumpaan kedua agama yang kurang
mengenakkan, telah melahirkan ejekan kepada Kekristenan di Jawa? "Aja
dadi Kristen (Jangan menjadi Kristen)”, begitu ejekan yang ditujukan kepada
orang-orang Jawa yang menjadi Kristen di Ngoro,”marga wong Kristen mengko
yen mati dipentheng” (sebab orang Kristen itu nanti matinya disalib). Kesan
ini cukup mencolok, tetapi agak kurang efektif menahan orang-orang Jawa dari
kultur abangan yang cukup besar melakukan konversi kepada Kekristenan, karena
kepercayaan bahwa Yesus adalah Ratu Adil yang lebih mengisi relung-relung
pengharapan dan degub kalbu kerinduan di dada mereka.
[1] Tasawuf yang lazim diajarkan di pesantren-pesantren
adalah tasawuf Suni, khususnya diajarkan oleh Imam al-Ghazali (wafat
1111M),bukan tasawuf Falsafi seperti yang antara lain dikenal dalam pemikiran
Ibnu ‘Arabi. Antara kedua aliran tasawuf ini,diakui ada semacam ketegangan.
Kasus Syeh Siti Jenar pada salah satu aspeknya dapat dipandang mewakili kedua
aliran pemikiran ini. Di kalangan Nahdatul ‘Ulama, aliran-aliran tarekat yang
diakui masih berada dalam alur suni ini digabungkan dalam thariqah
al-Muktabarah. Dalam kaitan dengan pembahasan kita tentang citra Yesus
dalam Islam, dapat dikatakan bahwa tasawuf falsafi lebih liberal dalam
melakukan lompatan “bahasa teologis” ke dalam tradisi Kristiani. Misalnya, soal
metafora Anak Allah. Sedangkan dalam tasawuf suni yang lebih terikat dengan
bahasa teologis Islam, sehingga “passing over” semacam itu masih sulit terjadi,
lebih-lebih dengan alasan memelihara kemurnian ‘aqidah.
[2] Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai. Kasus Pondok
Pesantren Tebuireng (Malang: Kalimasahada Press, 1993), h.47-48. Kajian lebih
lengkap dapat dibaca: Zamakhsari Dhofir, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1984)
[3] Mrk R.Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus
Kebatinan (Yogyakarta: Lkis,1999).
[4] Clifford Geertz, The Religion of Java
(Chicago-London:The University of Chicago, 1960)
[5] Demikianlah misalnya ditekankan dalam Jawahir
al-Kalamiyah, bahwa kitab Taurat sudah dipalsukan dan Injil tidak dapat
dipercayai lagi karena banyaknya pertentangan dalam kitab tersebut. Lihat: ‘Abd
al-Hafidz, Tarjamah al-Jawahir al-Kalamiyah bi Lughat al-Jawi (Surabaya:Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan
wa Auladuh, tanpa tahun), h.32-44.
[6] Menurut Geoffrey Parrinder, penegasan al-Qur’an bahwa
‘Isa adalah Firman Allah yang diberikan kepada Maryam dan Ruh dari-Nya
tampaknya diarahkan kepada bidah-bidah Kristen tertentu, khususnya melawan
pengertian primitif bahwa Allah telah memperanakkan secara jasmani ‘Isa melalui
Maryam. Geoffrey Parrinder, Jesus in The Qur’an (New York: Oxford University
Press, 1977),p.45-51.
[7] H.Muhammad Sa’id bin H.’Abd al-Nafi’, Terjamah Tafsir
al-Jalalain bi Lughat al-Jawi. Jilid I (Surabaya:
Syarikat Maktabah wa Mathba’at Ahmad bin Sa’id bin Nahban wa auladuh, tanpa
tahun),h.44
[8] Imam Ibnu Katsir al-Quraisyi ad Dimasyqi, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim. Jilid I (Beirut:Dar al-Fikr, 1412 H/1992),h.443-444.
[9] Ibid,h.443.
[10] Geoffrey Parrinder, Op.Cit.p.45-46.
[11] Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.
[12] Ibid,h.46.
[13] Syaikh Muhammad “Abduh, Risalah at-Tauhid (Kairo:Dar
al-Hilal, 1963),h.27.
[14] Dikutip oleh Abdiyah Akbar Abdul Haqq, Sharing Your
Faith with a Muslim ( Minneapolis, Minnesota: Bethany House Publishers,
1990),p.68. Mengenai penekanan Mu’tazilah akan kemakhlukan al-Qur’an dan
hubungannya dengan teologi Kristen, lihat: Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran
Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Alih bahasa :Abu Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
(Jakarta : Logos Publishing House,1996),h.184-185.
[15] S.H.Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta. Alih Bahasa:
K.H.Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid (Jakarta:LAPPENAS,1981).
[16] Ibnu Katsir,Jilid I, Op Cit,h.447.
[17] Tafsir Jalalain bi Lughat al-Jawi, Op.Cit,h.42.
[18] Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Tanwir
al-Miqbas min Tafsir Ibnu ‘Abbas (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah,tanpa tahun),h.37.
[19] ‘Allamah Asy Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah
Labid Tafsir an-Nawawi, Juzz I (Surabaya:al-Hidayah,tanpa
tahun),h.97. Ungkapan bahasa Ibrani Gan ‘Eden, ‘Taman Eden” (Kejadian
2:8).Sedangkan al-muqarrabun yang dalam al-Qur’an juga dihubungkan dengan
malaikat yang terdekat (Q.s.an-Nisa’/4:172), sejajar dengan kerubim yang dalam
tradisi Yahudi-Kristen dikaitkan dengan malaikat yang menjaga taman Eden
(Kejadian 3:24). Baik ungkapan qerubim maupun al-muqarrabin, keduanya berasal
dari akar kata yang menunjukkan kedekatan (Ibrani:kereb;
Arab:qarib,”dekat”).Karena para kerub adalah malaikat terdekat yang dihubungkan
dengan tahta Allah: Adonay Tsebaot yosyev ha-kerubim.”Tuhan semesta alam, yang
bersemayam di atas para kerub” (1 Samuel 4:4).
20 Kata ‘illiyin ini sejajar dengan bahasa Ibrani ‘elyon
(yang tinggi).Dalam bahasa Ibrani, kata ini biasanya menunjuk surga atau “Yang
Mahatinggi”(misalnya:El ‘elyon,”Allah yang Mahatinggi”).
21 Marah Labid Tafsir an-Nawawi,Juzz II.Op.Cit.h.433.
22 Syeikh al-Allamah Hujjat al-Islam Abu Hamid bin
Muhammad al-Ghazali, Tarjamah Bidayat al-Hidayah (Surabaya:Maktabah al-Hidayah,tanpa
tahun),h.40.
23 Dalam buku-buku yang banyak beredar sekarang sudah lazim
bahwa Nabi Muhammad disebut dengan shalallahu ‘alaihi wassalam, “shalawat Allah
dan salam atas beliau”(SAW), sedangkan nabi-nabi lain termasuk ‘Isa
diberi sebutan ‘alaihissalam, “salam atas dia”(AS) saja. Tetapi kitab-kitab
kuning seperti yang salah satunya dikutip di atas tidak membedakan sama sekali.
24 K.H.Misbah bin Jaiz al-Mustafa, Ihya’ Ulumuddin bi
al-Ma’na al-Jawi. Juzz I (Pekalongan: Maktabah Raja Murah, tanpa tahun),h.52.
25 K.H.Asrar, Tarjamah Durat an-Nashihin. Jilid II
(Pekalongan: Maktabah wa Mathba’at Raja Murah,tanpa tahun),h.522.
26 Ibid,h.523.
27 Ibid,h.527.
<div style="mso-element: footnote" id="
0 comments:
Post a Comment