SEJARAH BERDIRINYA NU
A.
LATAR BELAKANG TRADISI, SOSIAL DAN INTERNASIONAL
NAHDLATUL
ULAMA didirikan pada 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional dan usahawan
Jawa Timur. Pembentukannya seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif
terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok
modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).
Muhammadiyah dibentuk di Yogyakarta pada 1912 dan pada awal 1920-an aktif
melebarkan sayapnya ke berbagai wilayah Indonesia. Muhammadiyah sangat
menekankan kegiatannya kepada pendidikan dan kesejahteraan sosial, dengan
mendirikan sekolah-sekolah bergaya Eropa, rumah-rumah sakit dan panti-panti
asuhan, namun ia juga merupakan organisasi reformis dalam masalah ibadah dan
akidah. Ia bersikap kritis terhadap berbagai kepercayaan lokal beserta berbagai
prakteknya dan menantang otoritas ulama tradisional. Sarekat islam didirikan
pada tahun yang sama, 1912, untuk membela kepentingan-kepentingan kelas
pedagang Muslim dalam persaingan dengan kalangan Cina. Pada tahun-tahun
berikutnya, ia berkembang menjadi gerakan nasionalis pertama yang mendapatkan
banyak pengikut, mendapatkan dukungan yang sangat luas di kalangan masyarakat
pedesaan dan juga kelas pekerja yang barn mulai terbentuk. Pada awal 1920-an,
sayap paling radikal dari Sarekat Islam memisahkan diri dan bergabung dengan
partai komunis. Akibatnya, Sarekat Islam kehilangan banyak daya hidup yang
dimilikinya pada dasawarsa sebelumnya. Namun, sebagai sebuah organisasi modern
yang dlpimpin oleh para intelektual dan politisi jenis baru dan mengaku
mewakili kepentingan seluruh umat Islam Indonesia, SI merupakan ancaman
serius terhadap posisi para pemimpin tradisional umat, Kiai.
Dalam
bab ini saya akan menggambarkan secara selintas berbagai peristiwa dan
perkembangan yang mendorong kelahiran NU. Akan tampak bahwa aktifitas
Muhammadiyah dan Sarekat Islam merupakan faktor yang penting, walaupun
kelahiran NU tidaklah semata-mata --sebagaimana dinyatakan banyak penulis--
sebuah reaksi defensif terhadap pengaruh mereka yang semakin bertambah kuat.
Konflik-konflik tajam antara kelompok reformis dan Islam tradisional sebagai
latar belakang berdirinya NU tentu saja harus dilihat, tetapi --sebagaimana
akan terlihat- perkembangan-perkembangan internasionallah yang memberikan
alasan langsung bagi berdirinya NU. Lebih dari itu, walaupun dalam persepsi
dirinya sendiri tujuan utama NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan, dalam
beberapa hal ia lebih dapat dilihat sebagai upaya menandingi dari pada menolak
gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang lebih dahulu diperkenalkan kalangan
reformis.
ISLAM
JAWA TRADISIONAL: PESANTREN DAN LINGKUNGANNYA
Rapat
yang merupakan peristiwa berdirinya NU berlangsung di Surabaya
dan kebanyakan anggota pendirinya menetap dan bekerja di kota tersebut, namun orientasi dasarnya tidak
bersifat kekotaan. Lembaga yang menjelmakan corak Islam yang diwakili NU,
pesantren atau pondok, pada dasarnya merupakan sebuah fenomena pedesaan.
Pesantren adalah sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang disertai
asrama di mana para murid, santri, mempelajari kitab-kitab keagamaan di bawah
bimbingan seorang guru, kiai. Tidak dapat diketahui secara pasti sudah berapa
lama lembaga pendidikan Islam tradisional ini hadir di Jawa,3 tetapi kita tahu
bahwa jumlah pesantren meningkat tajam pada paruh kedua abad kesembilan belas
dan terus berkembang sejak saat itu. Banyak pemuda Islam yang telah menetap
beberapa tahun di Mekkah untuk belajar kepada para guru terkemuka di sana, dan setelah kembali
ke Jawa mereka mendirikan pesantren sendiri. Pesantren yang didirikan biasanya
-meski tidak selalu- terletak jauh dari kota.
Semakin banyak daerah hutan Jawa dibuka dan dibersihkan untuk lahan penanaman
padi dan tebu, begitu juga perkembangan pesantren. Dalam beberapa kasus,
pesantrenlah yang membuka hutan dan kemudian diikuti oleh para pemukimnya.4
Sebuah pesantren paling tidak terdiri dari rumah kiai, sebuah mesjid, dan
asrama-asrama untuk para santri. Sebagian santri berasal dari desa tetangga dan
kembali ke rumah setiap hari setelah pelajaran usai. Namun, para santri senior
cenderung berasal dari tempat-tempat yang jauh; banyak santri dan orang tua
mereka yang nampaknya lebih menyukai pesantren yang jauh daripada pesantren
yang dekat. Kebanyakan santri biasanya membayar sejumlah biaya tertentu;
sebagian yang lainnya memperoleh hak untuk tinggal di pesantren tersebut dengan
bekerja di ladang atau rumah tangga kiainya. Biaya pendidikannya biasanya jauh
dari mencukupi kehidupan kiai dan perawatan pesantren, tetapi kebanyakan kiai
mempunyai berbagai sumber pendapatan yang lain. Kebanyakan mereka memiliki
tanah pertanian atau berdagang kecil-kecilan, dan hampir semuanya secara
teratur menerima berbagai hadiah dari para pengikut setianya yang kaya.
Sekitar pergantian abad yang lalu, kaum muslim taat yang merupakan sumber
dukungan bagi kiai adalah kelompok minoritas kecil di lingkungan masyarakat
pedesaan. Mereka sering disebut kaum putihan, karena mereka lebih suka
mengenakan pakaian dan peci putih. Kita tidak' tahu banyak tentang komposisi
sosial dari kelompok ini. Sumber-sumber Belanda dari periode tersebut
menyebutkan bahwa mereka pada umumnya terdiri dari para pedagang keliling dan
pengrajin, tetapi pastilah juga terdapat para petani dan buruh tani. Pada
umumnya, kelompok muslim taat ini tampak secara hati-hati menjaga jarak sosial
mereka dari massa
petani yang menganut kepercayaan sinkretis dan menjalankan praktek pemujaan
arwah setempat yang di sebagian wilayah disebut kaum abangan), dan mereka
seringkali bertempat tinggal secara terpisah dengan kelompok yang terakhir
ini.5
Dari
lingkungan inilah kebanyakan santri (dalam arti murid pesantren) berasal,
walaupun tidak selalu demikian. Sebagian keluarga priyayi juga mengirim
anak-anak mereka ke pesantren, untuk melengkapi pendidikan umum mereka.6
Sepanjang abad ini semakin banyak pula kelompok abangan yang secara bertahap
terserap ke dalam lingkungan pesantren.
Terdapat
berbagai tingkatan pesantren. Yang paling sederhana hanya mengajarkan cara
membaca huruf Arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh Al-Qur'an. Yang
agak lebih tinggi adalah pesantren yang mengajarkan kepada para santrinya
berbagai kitab fiqh, ilmu akidah dan kadang-kadang amalan Sufi, di samping tata
bahasa Arab (Nahwu-Sharaf). Di pesantren paling maju --yang paling terkenal di
antaranya, pesantren Tebuireng, Jombang diajarkan kitab-kitab fiqh, akidah dan
tasawwuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional lainnya.
Abad ini menyaksikan adanya pertambahan secara bertahap jumlah kitab-kitab
(dalam bidang tersebut di atas) yang dipelajari. Dan wawasan disiplin
intelektualnya juga mengalami perluasan, dengan diperkenalkannya kitab koleksi
hadits, tafsir Al-Qur'an, logika, sejarah Islam, dan mata-mata pelajaran umum.
Namun identitas tradisi intelektual pesantren sekarang, sebagaimana waktu itu,
ditentukan tiga serangkai mata pelajaran, yang terdiri dari fiqh menurut mazhab
Syafi`i, akidah menurut mazhab Asy'ari dan amalan-amalan Sufi dari karya-karya
Imam al-Ghazali.7
Kiai
memainkan peranan yang lebih dari sekadar seorang guru. Dia bertindak sebagai
seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam
masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta
membacakan do'a pada berbagai acara penting. Banyak kiai Jawa yang juga
mempunyai kemampuan penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu; mereka
bertindak sebagai orang yang dapat melakukan penyembuhan spiritual dan mengusir
roh jahat, membuat jimat-jimat atau mengajarkan berbagai teknik kekebalan
tubuh. Banyak kiai yang menjadi guru pencak silat, yang menggabungkan berbagai
teknik olah fisik dengan teknik-teknik mistik untuk meningkatkan kelincahan
bertarung dan kekebalan terhadap senjata, atau untuk membuat tidak mempan dari
pukulan senjata tajam atau senjata api dari pihak lawan. Pengaruh seorang kiai
akan menjadi semakin besar lagi jika dia berafiliasi dengan sebuah
tarekat dan dapat mengajarkan amalan-amalan tarekat bagi mereka yang ingin
belajar kepadanya. Tarekat tidak hanya menghubung kannya dengan kiai lainnya
dalam jaringan yang luas tetapi juga melahirkan pengikut yang sangat taat
dan setia. Kiai merupakan perantara, dengan pengertian yang berbeda-beda,
antara dunia ini dan dunia arwah. Kepercayaan kepada adanya dunia arwah yang
harus diambil hati merupakan ajaran sentral dalam Islam Jawa tradisional dan
juga dalam pandangan hidup kaum abangan. Kebanyakan kiai dipercaya, karena
penguasaannya atas ilmu-ilmu keislaman, mampu mengusir jin dan menangkal
pengaruh-pengaruh buruk dari dunia gaib. Mereka juga dipercaya lebih mampu dari
orang lain dalam menjalin hubungan dengan arwah-arwah orang yang sudah meninggal.
Seorang kiai tarekat merupakan penghubung muridnya dengan seluruh mata rantai
guru - guru terdahulu yang bersambung sampai kepada Nabi dan akhirnya Kepada
Allah, dan dia adalah penyambung melalui mana berkah mengalir dari arwah-arwah
para wali kepada pengikutnya.
Sebagian
kiai terkenal sebagai orang yang mempunyai ilmu laduni, Arwah-arwah orang yang
sudah meninggal tetap memainkan berbagai peranan dalam kehidupan Muslim Jawa
tradisional terdapat banyak cerita tentang kiai yang dapat melakukan perjalanan
jarak jauh dengan cara yang menakjubkan misalnya pergi melaksanakan shalat
Jum'at ke Mekkah. Ziarah ke makam orang yang dihormati keluarga dan leluhur,
guru, wali dan raja tidak saja dianggap perbuatan yang berpahala besar
dikalangan Muslim Jawa tradisional tetapi juga dipercaya mempunyai
kegunaan-kegunaan praktis. Dipercaya bahwa pahala, yang diperoleh dari,
misalnya, pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al Qur'an, dapat dipersembahkan bagi
arwah-arwah orang yang sudah meninggal. Sebagai balasannya, para arwah tersebut
dapat dimintai sesuatu, misalnya pertolongan, wangsit, penyembuhan penyakit
atau kemandulan. Di kebanyakan pesantren, makam kiai pendiri dan guru-guru
lainnya merupakan tempat penting, dan hari kematian sang pendiri selalu
diperingati setiap tahun. Dipercaya bahwa makam kiai atau lebih tepat, arwahnya
masih dapat memberikan berkah; kehadiran makam menambah legitimasi bagi para
penerusnya. Berbagai ritual yang diperuntukkan bagi orang yang baru meninggal
juga didasarkan atas kepermyaan bahwa komunikasi semacam itu tetap dapat
dijalin: Para rekan dan kerabat berkumpul
untuk mengadakan tahlilan dan slametan, yang pahalanya dipersembahkan kepada
arwah almarhum. Ziarah dan tahlilan tidak harus menghadirkan kiai, tetapi
dipercaya akan lebih afdol jika dipimpin seorang kiai.
LAHIRNYA
NAHDLATUL ULAMA:
SEBUAH
REAKSI ANTI-PEMBAHARU
Sudah seringkali dinyatakan bahwa NU didirikan oleh kiai tradisionalis yang
menyaksikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis. Pengaruh
Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas, demikian menurut argumen
ini, telah memarginalisasikan kiai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya
pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat
melemahkan legitimasi mereka. Dikatakan, NU didirikan untuk mewakili
kepentingan-kepentingan kiai, vis a vis pemerintah dan juga kaum pembaru dan
untuk menghambat
perkembangan
organisasi-organisasi yang hadir lebih dahulu.11
Tentu saja ada kebenaran dalam tesis ini, walaupun ia gagal menjelaskan kenapa
NU didirikan pada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal, ketika
Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap kaum
pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa. Adalah, terutama, Faqih
Hasjim, pedagang dan penyebar aktif paham reformis asal Minangkabau
yang
menetap di Surabaya pada akhir 1910-an, yang memancing respons keras dari
kalangan tradisional.12 Ternyata, ketika sejumlah ulama tradisional di Surabaya
membentuk sebuah perhimpunan dan mendirikan sebuah sekolah agama, yang diberi
nama Tashwirul Afkar pada 1924, dilaporkan pada saat itu bahwa mereka
melakukannya sebagai reaksi langsung terhadap propaganda Faqih Hasjim.13
Tashwirul Afkar umumnya dianggap sebagai cikal-bakal NU hanya karena Kiai Wahab
Chasbullah merupakan tokoh penggerak di balik keduanya. Tetapi Kiai Wahab,
sebagaimana
akan
kita lihat di bawah, aktif dalam berbagai organisasi dan lingkungan intelektual
yang ada pada waktu itu, dan juga bekerja sama dengan para pembaru moderat
-sebelum terjadi perselisihan di 1920-an yang membuatnya mengambil posisi
tradisionalis secara lebih tegas.
Tidak dapat dibantah, kelahiran NU merupakan bagian dari pola umum reaksi
anti-pembaru. Namun, sebab-sebab langsung berdirinya tidak banyak berhubungan
dengan munculnya reformisme di Surabaya,
dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan kongkret dibandingkan
dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaru.
Tujuan-tujuannya berhubungan dengan perkembangan internasional pada pertengahan
1920-an: penghapusan jabatan khalifah, serbuan kaum Wahabi atas Mekkah dan
pencarian suatu internasionalisme Islam yang baru. Perkem-
bangan-perkembangan
inilah, dan dampaknya bagi kaum muslim Indonesia, yang akan kita soroti
terlebih dahulu.
LATAR
BELAKANG INTERNASIONAL
Pada Februari 1924, Pemerintahan Kemalis Republik Turki menghapuskan jabatan
Khalifah (khilafah). Hal ini memberikan dorongan kepada pembicaraan i tentang
teori politik Islam dan upaya-upaya untuk membangun institusi-institusi pan-Islami
yang baru. Para penguasa Daulah Utsmaniyah di
Istanbul sudah sejak abad ke-18 menyandang gelar sultan dan khalifah; gelar
khalifah menunjukkan klaim mereka sebagai pengganti Nabi dan karena itu
merupakan kewenangan tertinggi atas seluruh dunia Muslim. Pada akhir abad ke-19
klaim ini, walaupun meragukan jika ditinjau ber-dasarkan fakta-fakta sejarah,
diakui oleh kebanyakan umat Islam di Asia Selatan dan Tenggara maupun Timur
Tengah.14
Daulah Utsmaniyah sudah dihapuskan setahun sebelumnya, dan khalifahnya yang
terakhir, setelah semua kekuatannya dilucuti, dalam prakteknya tidak lebih dari
figur yang tak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga, penghapusan khilafah
menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggeris dan
Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi. Mungkin lebih tepat
dikatakan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim yang terjajahlah yang merasakan
kebutuhan akan kepemimpinan politik yang independen -sekalipun hanya bersifat
simbolik—semacam itu. Kaum Muslim India berkampanye dalam rangka pemulihan
kembali Daulah Utsmaniyah, dan beberapa calon menunjukkan keinginan menyandang
gelar khalifah.
Salah seorang calon seriusnya adalah penguasa Mekkah, Syarif Husain (yang
menguasai kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah pada 1916).
Dia membentuk sebuah dewan penasehat khalifah, termasuk diantaranya dua orang
Asia Tenggara yang bermukim di Mekah, dan mengadakan sebuah kongres haji
(mu'tamar al-hajj) di Mekah pada Juli 1924, dengan harapan mendapatkan dukungan
internasional bagi klaimnya atas gelar khalifah. Kongres ini adalah yang
pertama dari serangkaian kongres Islam internasional yang diselenggarakan pada
1920-an.15 Para pesertanya gagal
mencapai kata sepakat untuk memberikan dukungan yang diharapkan Syarif Husain.
Beberapa bulan kemudian (Oktober 1924), musuh besar politik Syarif, `Abd
al-'Aziz ibn Sa'ud, menyerbu Mekkah dan membuyarkan keinginan-keinginannya.
Pada akhir tahun berikutnya, seluruh Hijaz (yakni, bagian sebelah barat
semenanjung Arab), termasuk pelabuhan penting Jeddah, berada di tangan Sa'udi,
sementara Husain yang sudah melarikan diri keluar negeri tak punya kekuasaan
sama sekali.
Pada waktu itu, sedang dilakukan persiapan-persiapan penyelenggaraan Kongres
Khilafat yang akan diadakan di Kairo pada Maret 1925. Inisiatif
penyelenggaraannya berasal dari para ulama al-Azhar, yang didorong oleh Raja
Mesir, Fu'ad, calon lain untuk kursi khalifah. Pemikir pembaru terkemuka,
Rasyid Ridla, salah seorang penyelenggaranya, sudah mengirim undangan kepada
Sa-
rekat
Islam dan Muhammadiyah, organisasi penting yang ada di Indonesia pada waktu itu. Namun
kesulitan-kesulitan internal di Mesir mengganggu persiapan kongres dan
menyebabkan kongres itu harus ditunda sampai Mei 1926.
Dalam pandangan Ibn Sa'ud, persiapan Kongres Kairo, dengan kemungkinan
terpilihnya Raja Fu'ad sebagai khalifah baru, merupakan ancaman atas posisi
yang baru dimenangkannya di Hijaz. Karena itu, dia menyelenggarakan kongres
tandingan di Mekkah selama Juni-Juli 1926, berpura-pura menyelenggarakan
pembicaraan tentang urusan haji tetapi dalam kenyataannya berusaha memperoleh
legitimasi bagi kekuasaannya atas Hijaz. Kedua kongres yang hampir bersamaan
itu menunjukkan adanya persaingan yang tidak terlalu tersembunyi untuk meraih
kedudukan sebagai pemimpin seluruh umat Islam. Kedua panitia penyelenggara
kongres tersebut dengan harap-harap cemas melakukan pendekatan agar seluruh
dunia Islam bersedia ikut serta.
Tahun 1920-an juga merupakan rentang waktu dimana di Indonesia pun diadakan kongres-kongres
umat Islam. Di tahun-tahun 1922 sampai 1926, para aktifis Muslim dari berbagai
organisasi dan perhimpunan mengadakan serangkaian kongres bersama (yang disebut
Kongres AL-Islam) untuk membicarakan berbagai masalah penting yang menjadi
keprihatinan bersama. Semua aliran Islam Indonesia terwakili dalam
kongres-kongres ini, walaupun wakil kaum modernis mungkin terlalu banyak.16
Kongres Al-Islam ketiga, yang diselenggarakan Desember 1924, didominasi
pembicaraan mengenai masalah khilafah, dan para pesertanya memutuskan untuk
mengirimkan delegasi yang mewakili Sarekat Islam, Muhammadiyah dan kaum
tradisionalis ke kongres Kairo. Karena terjadi penundaan di Mesir, delegasi ini
tidak jadi berangkat. Menjelang Kongres Al-Islam keempat, Agustus 1925, datang
pula undangan untuk menghadiri Kongres Mekkah. Masalah penentuan pilihan antara
Kairo dan Mekkah, dan masalah sikap yang diambil terhadap rejim Sa'udi yang
baru berkuasa di Mekkah, menimbulkan perselisihan pendapat antara Sarekat Islam
dan Muhammadiyah dan menyebabkan keretakan hubungan di antara mereka dan kaum
tradisionalis yang terus meluas dan akhirnya menimbulkan perpecahan.
Tidak satupun dari kedua kongres tersebut yang secara jelas berhubungan dengan
Islam tradisional. Kita telah menyaksikan bahwa pembaru terkenal, Rasyid Ridla,
adalah salah seorang penyelenggara Kongres di Kairo (walaupun kemudian dia
memutuskan untuk datang di Kongres Mekkah). Hal ini bukannya tidak membuat kaum
tradisionalis Indonesia
merasa khawatir. Bagaimanapun juga, Ibn Sa'ud dan pengikutnya adalah kaum
Wahabi, pengikut sekte puritan yang paling dogmatis dalam Islam. Kelompok
Wahabi terkenal dengan sikap kerasnya menentang segala sesuatu yang bernada
pemujaan kepada wali dan pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama
menduduki kota Mekkah beberapa waktu sebelumnya,
pada awal abad ke-20, kaum Wahabi menghancurkan banyak makam di dalam dan
sekitar kota
tersebut dan memberangus berbagai praktek keagamaan populer. Bagi kaum Muslim
tradisionalis Indonesia,
yang sangat terikat kepada praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi
ini, penaklukan atas Mekkah tersebut merupakan peristiwa yang mencemaskan.
Muhammadiyah sejak awal nampak lebih cenderung ke Kongres Kairo, mungkin karena
keterlibatan Rasyid Ridla di dalamnya. Secara doktrinal, Muhammadiyah lebih
dekat kepada pembaru Mesir daripada kaum puritan wahabi. Namun, pemimpin
Sarekat Islam, Tjokroaminoto, keberatan terhadap peranan raja Fu'ad dalam
kongres ini, yang dia curigai sebagai siasat tersembunyi Inggris untuk
menguasai Dunia Islam. Dia menegaskan bahwa umat Islam Indonesia, demi alasan politik,
hendaknya memilih Kongres Mekkah yang diadakan Ibn Sa'ud. Kaum tradisonalis
juga memilih Kongres Mekkah, walaupun dengan alasan yang berbeda: kedudukan
Hijaz merupakan masalah yang lebih penting daripada semua permasalaban
khilafah.
Kaum tradisionalis Indonesia
menghendaki agar utusan Indonesia
ke Kongres Mekkah meminta jaminan dari Ibn Sa'ud bahwa dia akan menghormati
mazhab-mazhab fiqh ortodoks dan membolehkan berbagai praktek keagamaan
tradisional. Ini adalah masalah yang paling penting bagi mereka, karena Mekkah
dimana terdapat komunitas pemukim Indonesia dalam jumlah besar, sejak lama
telah menjadi pusat ilmu tradisional, di mana orang-orang yang kemudian menjadi
kiai biasanya menghabiskan waktu beberapa tahun untuk menuntut ilmu di sana.17
Akan merupakan pukulan berat bagi pendidikan tradisional di seluruh dunia Islam
jika ajaran fiqh Syafi`i dilarang di Mekkah. Demikian juga, pelarangan terhadap
tarekat dan ziarah ke banyak makam orang suci di dalam dan sekitar Mekkah akan
menghilangkan kesempatan kaum Muslim tradisional seluruh dunia untuk memperoleh
pengalaman-pengalaman keagamaan yang penting.
Tidak mengherankan, kaum pembaru tidak bersedia meminta kepada Sa'ud agar
melindungi praktek-praktek tradisional yang tidak mereka setujui tersebut.
Tentu saja, hal ini semakin memperburuk ketegangan antara kaum Muslim
tradisionalis dan pembaru di Indonesia. Kongres itupun berakhir tanpa ada
keputusan yang jelas. Setengah tahun kemudian, Februari 1926, Kongres Al-Islam
kelima diadakan untuk memilih siapa yang akan menjadi utusan ke Kongres Mekkah.
Pada saat itu, tentu saja, kaum tradisionalis tidak mendapat kesempatan.18
Hanya dua orang utusan yang ditunjuk, Tjokroaminoto (SI) dan Mas Mansoer
(Muhammadiyah).19
Di
luar utusan dari Kongres Al-Islam, kaum pembaru Sumatera Barat mengirimkan dua
utusannya ke Kongres Kairo, yakni pembaru terkenal Abdul Karim Amrullah (alias
Haji Rasul, ayah Hamka) dan Abdullah Ahmad.20
Namun, pada saat itu kaum tradisionalis sudah memutuskan: jika Kongres Al-Islam
tidak man menekan Ibn Sa'ud, mereka harus berusaha melakukannya sendiri. Kiai
Wahab Chasbullah, yang merupakan juru bicara kaum tradisionalis paling vokal
pada Kongres Al-Islam, mendorong para kiai terkemuka Jawa Timur agar
mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah mazhab dengan
Ibn Sa'ud. Untuk tujuan ini, mereka membentuk sebuah komite Komite Hijaz, yang
bertemu di rumahnya di Surabaya pada 31 Januari 1926 untuk menentukan siapa
yang akan diutus. Untuk lebih memperkuat kesan pihak luar, komite ini
memutuskan mengubah diri menjadi sebuah organisasi, dan menggunakan nama
Nahdlatoel 'Oelama. Pada masa beberapa tahun awal kehadirannya, pertimbangan
mengenai status Hijaz nampaknya tetap merupakan alasan tunggal kehadirannya.21
KIAI
ABDUL WAHAB: SANG PENGGERAK
Walaupun sejak awal Kiai Hasjim Asj`ari duduk sebagai pimpinan dan tokoh agama
terkemuka di dalam Nahdlatul Ulama, namun tidak diragukan lagi bahwa penggerak
di belakangnya adalah Kiai Wahab Chasbullah, yang lebih muda hampir dua
dasawarsa. Kiai Wahab adalah pengorganisir yang bersemangat, dan peninjauan
singkat terhadap berbagai kegiatannya sebelum pembentukan NU menunjukkan,
paling tidak bagi dirinya sendiri, bahwa NU lebih dari sekadar usaha
mempertahankan tradisi dari serangan kaum modernis dan reformis.
Ketika dia sedang belajar di Mekkah pada usia dua puluhan tahun, Wahab
mendengar kabar tentang Sarekat Islam, organisasi politik Islam pertama di Indonesia,
dan dia kemudian mendirikan cabang organisasi ini di Mekkah. Setelah
kepulangannya ke Indonesia
pada 1914 dia menetap di Surabaya
dan juga aktif di Sarekat Islam. Pada 1916 dia bergabung dengan Mas Mansoer,
yang per-
nah
belajar ilmu agama di Kairo dan kelak menjadi aktifis Muhammadiyah. Mereka
bersama-sama mendirikan sebuah sekolah Islam (bukan pesantren atau madrasah!)
yang diberi nama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), sebuah lembaga
pendidikan yang bercorak nasionalis moderat.22 Cabang-cabang lembaga pendidikan
ini dengan nama-nama yang sama patriotiknya, kemudian didirikan di berbagai kota di Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Pada awal 1920-an, Kiai Wahab juga membentuk organisasi pemuda
Muslim, Sjubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Sebuah organisasi yang sangat
berbeda sifatnya yang didirikannya pada 1918 adalah sebuah koperasi pedagang
(banyak di antaranya juga kiai) yang diberi nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan
para Pedagang). Dari sebuah kelompok diskusi tentang masalah-masalah yang murni
agama, yang dia organisir bersama dengan beberapa ulama tradisional di
Surabaya, lahir -pada tahun 1919 madrasah yang bernama Tashwirul Afkar.23
Pemimpin formal perhimpunan ini adalah KH Ahmad Dachlan.24
Dengan demikian, sampai awal 1920-an Kiai Wahab masih aktif dalam berbagai
lingkungan sosial dan intelektual sekaligus: Sarekat Islam-nya Tjokroaminoto
dengan para aktifis politiknya, para patriot dan pembaru pendidikan Nahdlatul
Wathan dan kaum tradisionalis Tashwirul Afkar. Sekitar 1920, kaum pembaru Muhammadiyah
semakin aktif di Surabaya
dan merekrut kawan Kiai Wahab, Mas Mansoer. Sejak saat itu, keduanya mempunyai
sekolah dan organisasi pemuda masing-masing. Konflik antara kaum pembaru dan
tradisionalis sering terjadi, dan mungkin diperburuk oleh perselisihan di
antara mereka yang dulu berteman. Sejak saat itulah Kiai Wahab semakin
mengidentifikasi dirinya dengan Islam tradisional. Sebagaimana telah kita
lihat, dia adalah juru bicara Islam tradisional terkemuka dalam Kongres-kongres
Al-Islam.
Pada 1924, untuk pertama kalinya dia mengusulkan kepada kerabat dan gurunya,
Kiai Hasjim Asj'ari, agar mendirikan sebuah organisasi yang mewakili
kepentingan-kepentingan dunia pesantren. Ini terjadi setelah Kongres Al-Islam
yang pertama, di mana sikap kaum tradisionalis yang bergantung kepada pendapat
ulama besar masa lain (taqlid) banyak mendapatkan kritik. Kiai Wahab tentu saja
sudah punya Tashwirul Afkar, tetapi perhimpunan ini sangat belum dapat
dikatakan sebagai sebuah organisasi. Banyak kiai yang enggan ikut dalam
perhimpunan itu, karena belum pernah ada dalam tradisi Muslim Jawa. Untuk
membujuk para kiai yang lebih berpengaruh, Kiai Wahab memerlukan dukungan moral
dari orang yang lebih berwibawa secara keagamaan. Kiai Hasjim Asj'ari, pendiri
pesantren Tebuireng, pada waktu itu diakui umum sebagai kiai yang sangat
dihormati di Jawa, dan tanpa dukungannya jelas tidak mungkin berdiri sebuah
organisasi kiai yang solid. Pada 1924, Kiai Hasjim tampaknya belum melihat
perlunya mendirikan organisasi semacam itu dan tidak memberikan persetujuannya.
Namun, setelah penyerbuan Ibn Sa'ud atas Mekkah, dia berubah pikiran dan
menyetujui perlunya dibentuk sebuah organisasi baru. Dia kemudian menulis,
sebagai pembukaan Anggaran Dasar NU, sebuah risalah berbahasa Arab. Dalam risalah
ini ia mengutip beberapa ayat Al-Qur'an yang menyerukan umat Islam bersatu dan
ditutup dengan pernyataan bahwa pembentukan sebuah organisasi untuk membela
Islam merupakan konskuensi logis dan perlu dari perintah-perintah Ilahi
tersebut.25
BASIS
SOSIAL NAHDLATUL ULAMA
Rapat di rumah Kiai Wahab, yang kemudian dianggap sebagai rapat pembentukan NU,
dipimpin oleh Kiai Hasjim sendiri. Kebanyakan mereka yang hadir dalam rapat
tersebut (termasuk KiaiWahab) menganggap diri mereka murid Kiai Hasjim, karena
pernah belajar di pesantren Tebuireng.26 Kebanyakan mereka juga adalah
kawan-kawan Kiai Wahab dan terlibat bersama TashwirulAfkar (KH Ahmad Dachlan),
Nahdlatul Wathan (Mas Alwi Abdul Aziz, pengganti Mas Mansoer) atau Nahdlatut
Tujjar. NamaNahdlatul Ulama menunjukkan adanya hubungan dengan
organisasi-organisasi yang lebih awal ini. Kita mendapatkan indikasi tentang
basis sosial organisasi baruini dari komposisi pengurus yang pertama (lihat
Lampiran II).Akan tampak bahwa semua anggota pendiri mendapat tempat didalam
kepengurusan ini. Kepengurusan ini terdiri dari unsur ulamadan bukan-ulama,
tetapi unsur ulamanya lebih dominan. Kebanyakan ulama ini --tidak semuanya--
adalah kiai, yang memimpin pesantsen. Salah seorang di antara mereka (Syekh
Ahmad Ghana'im) adalah orang Mesir yang mengajar di Surabaya. Lebih dari separuh ulama (15 dari
27 orang) bertempat tinggal di Surabaya;sisanya berasal dari Jawa Timur,
kecuali satu orang dari Madura,dari Jawa Tengah dan satu orang dari wilayah Cirebon. Semua peserta
rapat yang bukan-ulama adalah orang Surabaya
dan berprofesi sebagai usahawan kecil, kebanyakan adalah pedagang dan tuan
tanah.27 Mereka yang bukan ulama diberi posisi di badan eksekutif(Tanfidziyah),
sementara para ulama menjadi badan legislatif (Syuriah). (Secara teoritis
Tanfidziyah harus bertanggung jawab kepada Syuriyah). Kiai Hasjim Asj'ari
menjabat sampai akhir hayatnya, sebagai Ketua (Rois) Syuriah.28 Kiai Wahab
semula menjabat sebagai Sekretaris Syuriyah, tetapi segera mundur sedikit
menjadi penasehat (mustasyar), namun dalam prakteknya tetap menjadi kekuatan
penggerak organisasi ini. Jika komposisi pengurus awal NU menunjukkan bahwa NU
merupakan aliansi strategis antara para usahawan kecil dan kiai(sebagaimana
yang banyak terjadi sekarang), muktamar-muktamar(kongres) tahunannya -yang
pertama di selenggarakan di Surabaya
pada September 1926- jelas menunjukkan bahwa NU lebihmerupakan organisasi ulama
tradisional. Hampir tidak ada yang bukan ulama ambil bagian dalam muktamar
pertama. PengurusTanfidziyah yang bukan ulama nampaknya direkrut organisasi ini
karena
mereka mempunyai keterampilan penting yang tidak dimiliki ulama, tetapi mereka
diharapkan menyerahkan semua keputusan penting kepada ulama. Kita melihat di
sini awal dari dualisme kepemimpinan yang tetap menjadi karakteristik NU
sepanjang sejarahnya, dan merupakan sebab bagi banyak konflik yang
terjadi.Untuk menjembatani kesenjangan antara dirinya sendiri
dengansektor-sektor masyarakat yang lain, NU berulang kali harus merekrut, dan
memberikan fungsi penting kepada, "orang luar" yang mempunyai
keterampilan, pengetahuan dan kontak yang tidak di-
miliki
lingkungannya sendiri. Tidak mengejutkan, mereka yang direkrut ini seringkali
berbeda pandangan tentang kemana NU harus melangkah.Di samping dua kategori
anggota di atas, NU menarik massa
pengikut yang dengan cepat bertambah banyak. Setiap kiai membawa pengikutnya
masing-masing, yang terdiri dari keluarga keluarga para santrinya dan penduduk
desa yang biasa didatanginya untuk berbagai kegiatan keagamaan. Paling tidak,
ada keinginan mereka untuk "melindungi" para pengikutnya dari
pengaruh kuat kaum pembaru yang lebih terorganisir rapi, sehingga kiaitertarik
kepada NU. Lama kemudian, setelah NU menjadi sebuahpartai politik, barulah
mulai disadari bahwa para pengikut desa inimerupakan anggota yang potensial.
Para pengikut kiai yang menjadi anggota NU dan semua orang yang menganut
orientasi keagamaan serupa, adalah pendukungnya; dan untuk kepentingan para
pendukung inilah NU berbicara dan berbuat; walaupun tidakmengklaim diri sebagai
wakil mereka sampai jauh kemudian. Organisasi Nahdlatul Ulama berkembang pesat.
memperoleh banyak sekali pengikut --walaupun hampir tak terorganisir. Muktamar
NU ketiga (1928) dihadiri oleh sekitar 200 kiai, sementara pengajian umum yang
diadakan pada malam hari menarik pengunjung yang diperkirakan mencapai lima
belas ribu orang.29 Pada masa itu, tidak ada organisasi lain yang dapat
mengumpul sedemikian banyak orang. Seorang pejabat Belanda, sambil mengatakan
bahwa rasa ingin tahu pasti ikut mendorong terkumpulnya begitu banyak orang,
dengan gembira mencatat bahwa "ada kontras yang tajam antara sekelompok
orang yang mendengarkan pidato nasionalistik[Haji Agus] Salim di Pekalongan
(yang tidak mereka mengerti)dan jumlah massa sangat besar yang berkumpul di
dalam dan disekitar Masjid Ampel, yang berdesak-desakan untuk mendengar kan
sebuah pemerintahan non-muslim dipuji-pUji!"30 Satu dasa-
warsa
sebelumnya, Sarekat Islam berhasil memobilisasi jumlah pengikut yang sama
besarnya atau bahkan lebih besar lagi, tetapi dengan cepat pula kehilangan daya
tarik massanya. Sebaliknya, pe-
ngikut
NU terus bertambah. Kerumunan pengikut NU pada akhir 1920-an mungkin dapat
disamakan dengan orang-orang yang berduyun-duyun mendatangi Kongres Sarekat
Islam pada dasawarsa sebelumnya. Pada 1934, menurut sumber Belanda, sekitar 400
kiai bergabung ke NU. Sumber Belanda yang lain menyebutkan adanya 68 cabang
lokal pada 1935, dengan jumlah pengikut seluruhnya sebesar 67.000 orang.31 Tak
diragukan lagi, gambaran inilah yang paling mendekati kenyataan; tetapi urutan
besarnya sama dengan besarnya anggota Muhammadiyah, yang menurut laporan
mempunyai pengikut sejumlah 43.000 pada 1935 dan 250.000 pada 1938 (Noer 1973:
83).
ANGGARAN
DASAR NAHDLATUL ULAMA
Anggaran dasar formal (Statuten) NU yang pertama dibuat pada Muktamarnya yang
ketiga pada 1928. Formatnya, tentu saja,sesuai dsngan undang-undang perhimpunan
Belanda; keinginan mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda barangkali
merupakan alasan utama dibuatnya sebuah anggaran dasar yang eksplisit dan
tertulis. Atas dasar anggaran dasar ini, NU diberi status berbadan hukum
(rechtspersoonlijkheid) pada Februari 1930.Anggaran dasar ini tidak menyebut
hubungan dengan Hijaz yang merupakan sebab langsung berdirinya NU. Ia menyebutkan
dengan sangat eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan
ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah dan melindunginya dari penyimpangan
kaum pembaru dan modernis. Pasal kunci 2 dan 3 berbunyi sebagai berikut :
Fatsal
2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: "Memegang dengan tegoeh pada
salah satoe dari mazhabnja Imam empat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris
Asj-Sjafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboe hanifah An-Noe'man, atau Imam Ahmad
bin Hambal, dan menger djakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama
Islam".
Fatsal
3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
Mengadakan
perhoeboengan di antara 'Oelama-'0elama jang ber mazhab terseboet dalam
fatsal2
Memeriksai
kitab-kitab sebelommja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei
apakahitoedari pada kitab-kitabnja Ahli
Soen nah Wal Dja-ma'ah atau kitab-kitabnya Ahli Bid'ah.
Menjiarkan
Agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam fatsal 2, dengan
djalanan apa sadja jang baik.
Berichtiar
memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
Memperhatikan
hal-hal jang herhoeboengan dengan mas djid2, langgar2 dan pondok2,
begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang
fakir miskin.
Mendirikan
badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan,
jang tiada dilarang oleh sjara' Agama Islam.32
Sikap
berpegang teguh kepada salah satu dari empat mazhab fiqh ortodoks merupakan
ciri yang secara tegas membedakan kaum tradisionaIis dari kebanyakan aliran
pembaru. Kaum pembaru, sebagaimana telah dikatakan, menolak sikap taqlid kepada
kitab-kitab skolastik-klasik dan menganjurkan reinterpretasi terhadap sumber
pokok Islam, Al-Qur'an dan Hadits. Mereka mengutuk banyak kepercayaan dan
praktek keagamaan tradisional, seperti ritual untuk orang yang sudah meninggal,
pemujaan para wali dan ziarah ke makam-makam serta berbagai unsur ibadah. Semua
kepercayaan dan praktek keagamaan tradisional ini mendapatkan legitimasi dalam
kitab-kitab klasik, tetapi dianggap kaum pembaru sebagai penambahan belakangan,
yang bertentangan dengan sema-
ngat
Islam yang sebenarnya. Dalam pandangan mereka, praktek praktek tersebut
merupakan bid'ah dan karena itu diharamkan.Sebagaimana kita lihat di atas
(pasal 3.b) kaum tradisionalis justru membalikkan tuduhan tersebut, dengan
menyatakan gagasan-gagasan dan praktek-praktek yang dianjurkan kaum pembaru
sebagai bid'ah.Demikianlah anggaran dasar NU menekankan upaya melin-
dungi
Islam tradisional dari bahaya-bahaya gagasan dan praktek keagamaan kaum
pembaru. Pendidikan harus ditingkatkan, tetapi bahan-bahan pelajarannya harus
diamankan terlebih dahulu dari gagasan-gagasan kaum pembaru. Dalam
kenyataannya, sejak lama NU sudah mempunyai sebuah badan sensor yang memutuskan
kitab-kitab mana yang dianggap mu'tabar, yakni aman dibaca.Muktamar NU pertama
menetapkan tidak hanya buku-buku penting mana yang termasuk dalam mazhab fiqh
Syafi'i, tetapi juga mana yang harus lebih diutamakan apabila di dalamnya
terdapat fatwa-fatwa yang berbeda.33 Namun, harus dicatat bahwa anggaran
dasar NU yang pertama ini tidak semata-mata menunjukkan penolakan terhadap
semua pendirian kaum pembaru dan modernis. Dalam prakteknya, tampak bahwa ia
mendorong kepada pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif yang coraknya
tidak jauh berbeda dari kegiatan yang sebelumnya dipelopori oleh para pembaru.
Madrasah. Yang jumlahnya ingin ditingkatkan dalam anggaran dasar, pada waktu
itu merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia dan merupakan pembaruan
penting dari pesantren tradisional.34 Pasal 3.ejuga mengemukakan maksud
mendirikan panti-panti asuhan yatim, lembaga sosial yang semula diasosiasikan
sebagai usaha kaum pembaru.
Bagian
terakhir Pasal 3 mengandung nada yang jelas non-tradisional dan nampaknya
mencerminkan adanya pengaruh dari gagasan-gagasan Sarekat Islam: NU tidak hanya
ingin melindungi kepentingan spiritual tetapi juga kepentingan ekonomi para
anggotanya. Dalam Peratoeran Roemah Tangganya, yang ditulis beberapa waktu
setelah pembuatan anggaran dasar, kita menemukan usulan yang lebih kongkret
tentang bagaimana cara mendorong saling tolong menolong, dengan menganjurkan
para anggota NU untuk bekerja ke perusahaan anggota lainnya, yang dapat
dikenali karena menggunakan logo NU.35 Pada akhir 1930-an, NU jugamembentuk
koperasi sendiri, walaupun tidak pernah berhasil besar.36 Dapat dimengerti,
anggaran dasar tidak menyinggung sikapyang harus diambil terhadap penguasa
kolonial dan gerakan nasionalis. Apapun perasaan patriotik yang mungkin
dimiliki para tokohnya, mereka mengambil pendirian yang sangat akomodatif
sampai akhir pemerintahan Belanda pada 1942. Sebagaimana ditulis seorang
pengamat Belanda mengenai Muktamar kedua NU pada 1927:
"terlihat
seolah-olah ulama ingin masuk ke dalam buku-baik pemerintah, karena hampir
tanpa kecuali mereka memberikan pujian yang berlebihan terhadap
kebijakan-kebijakan keagamaan pemerintah, dengan berkali-kali menambahkan bahwa
tanpa perlindungan dari pemerintah, Islam akan mengalami tekanan berat; dan
merela meminta kepada pemerintah melanjutkan kebijakan ini, yakni menjamin
kebebasan Islam yang sebenarnya tanpa turut campur dalam aspek-aspek keagamaan
aktual. Selama pengajian umum (...) kebijakan
pemerintah banyak dipuji-puji sebagai benar-benar
tepat, adil dan cocok bagi Islam.Dan perilaku mereka yang ingin menyalahgunakan
agama untuk tujuan- tujuan politik (ini dialamatkan,
misalnya, kepada Partai Sarekat Islam) dikritik."37
PARA PENDIRI
NAHDLA'TUL ULAMA
Komposisi
pengurus pertama, yang konon dibentuk pada rapat pendirianNU pada bulan Januari
1926 di rumah Kiai Wabab Chasbullah di Surabaya (mengikuti Aboebakar 1957:472
dan Anam 1985 :69-70). Syuriyah semuanya terdiri dari para ulama, Tanfidziyah
terdiri dari bukan-ulama 

A.
Syuriyah Rois Akbar : KH
Hasjim Asj'ari Tebuireng, Jombang
Wakil
Rois
: KH Dachlan Surabaya
Katib
Awal
: KH Wabab Chasbullah Surabaya
(Sekretaris I)
Katib Tsani
: KH. Abdul Halim Leuwimunding, Cirebon
(Sekretaris II)
A'wan
: KH Mas Alwi Abdul Aziz Surabaya(Anggota)
KH Ridwan Abdullah Surabaya
KH Said Surabaya
KH Bisri Sjansuri Denanyar, Jombang
KH Abdullah Ubaid Surabaya
KH Nahrawi Thahir Malang
KH Amin Abdus Syukur Surabaya
KH Masjhuri Lasem
KH Nahrawi Surabaya
*KH Amin (Praban) Surabaya
*KH Hasbullah Surabaya
*KH Syarif Surabaya
*KH Yasin Surabaya
*KH Nawawi Amin Surabaya
*KH Abdul Hamid Jombang
*KH Dahlan Abdul Kahar Mojokerto
*KH Abdul Majid Surabaya
B.
Mustasyar
: KH Rd
Asnawi Kudus (Penasehat)
: KH Ridwan Mujahid Semarang
: KH Mas Nawawi Sidogiri, Pasuruan
: KH Doro Munthaha Bangkalan
: Syekh Ahmad Ghana'im Surabaya
(Orang Mesir)
: KH Rd Hambali Kudus
C.
Tanfidziyah
: Ketua H. Hasan Gipo Surabaya
Penulis
: M. Sadiq Sugeng Judodiwirjo Surabaya
Bendahara
: H. Mohamad Burhan Surabaya
Pembantu
: H. Saleh Sjamil Surabaya
: H. Ihsan Surabaya
: H. Ja'far Alwan Surabaya
: H. Usman Surabaya
: H. Achzab Surabaya
: H. Nawawi Surabaya
: H. Dahlan Surabaya
: H. Muhammad Mangun Surabaya
: *Abdul Hakim Surabaya
: *K. Zein Surabaya
: *H. Ghazali Surabaya
: +H. Sidiq Surabaya
Penasehat
: *H. Abdul Kahar Surabaya
: *H. Ibrahim Surabaya
Nama-nama yang diawali dengan tanda asteriks (*) tidak diberikan oleh Aboebakar
tetapi hanya oleh Anam, yang merujuk kepada sebuah buku karya KH Abdul Halim,
salah seorang pendiri. Anam, juga dengan menggunakan sumber yang sama,
memberikan sebuah daftar para ulama yang hadir pada rapat pendirian NU
(1985:1n). Kecuali KH Ma'shum dari Lasem, semua mereka yang hadir termasuk
dalam daftar anggota pengurus ini.
Keterbelakangan, baik secara
mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun
akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama
ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan
Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan
Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan
kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan
Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil
sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Sementara itu Kongres Al-Islam
keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua rapat akbar umat Islam Indonesia
ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah.
Kongres Al-Isalam di Yogyakarta dan Bandung
sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di
Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10
Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari
Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk
menghadiri kongres di Mekah.
KH A Wahab Chasbullah dari
kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba
mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud
menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti
Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan
Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan
modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang
Langkah Wahabi, hal 68-72).
Akhirnya Kiai Wahab beserta
tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri
dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah
kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar
daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya
kebanyakan dari Surabaya.
Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H.
Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas
Udik).
Baru setahun kemudian, tepatnya
pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai
Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa
pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat
mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung
secara politik oleh Raja Ibnu Saud.
Pertemuan bersejarah itu memang
dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari
dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma’sum (Lasem,
Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan
Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha
(Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan
lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif
Wan Nasr, t.t hal 10-11).
Ketua HBNO
Pertemuan para ulama di
kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai
wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal
muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama
Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina
masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang
dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926,
HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara
oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai
oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli
Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.”
Dalam forum ulama yang cukup
sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah
menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan
diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya)
sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi
(Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi
(Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam
se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para
ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan
dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan
akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal
Jama’ah.
Sampai sekarang, riwayat ketua
Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya
saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said
berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26
Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54
menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas
Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo
diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan
Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung) dan al-dien (agama).
Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH.
Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan
Abdul Latief Gipo.
Gipo yang berdarah Arab,
merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian
dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam kelaurga yang dinamai
makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini
berubah menjadi Jalan Kalimas Udik.
Sebagai orang yang punya
keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk
dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian
keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik. Baru sesudah Muktamar IV
di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo,
Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH
Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan
pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama
yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan
tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan)
Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi
Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda
dan Indonesia.
Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR.
ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda.
Kantor HBNO
Presiden HBNO pertama, H. Hasan
Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no
32, Surabaya
sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor
berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya.
Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat
melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa
Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi
Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH
Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9,
Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan
disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali
dipindahkan ke Surabaya.
Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta,
1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta.
Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah
timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang
‘Waras’, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim,
Zainul Arifin dan Achsien.
Sekalipun berpindah-pindah
kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’seperti yang telah diramalkan
KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia
dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf.
Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun
persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang
pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi
keempat ditempati PKI.
Tentu, untuk ukuran sebuah
organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia,
kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin
Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari
tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH
Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164.
Ketika melihat bangunan
fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung
tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa
letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat
diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik
dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang
menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT
Gunung Agung, 1987).
Selain itu ada cerita menarik
lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan
yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang
terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164
sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya kan hanya 300-400 meter
dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,” kata Dahlan kepada
Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh.
Tanpa disadari sebelumnya,
kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan
Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung
paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai
politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300
meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba
Raya berdiri kantor DPP-PNI.
Hingga kini, setelah 60 tahun
lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor
PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI,
gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.
Medio Rojab 1344 H
Kota Surabaya, kala itu masih
berada dalam wilayah kekuasaan Belanda. Hari menunjukkan tanggal 16 Rajab 1344
H. Puluhan ulama’ kharismatik berkumpul di Kota itu. Mereka bersepakat untuk meneguhkan
misi kenabian di Indonesia
yang diemban di pundak para ulama. Mereka berkumpul dibawah pimpinan seorang
ulama’ besar Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ary, dari Pondok Tebuireng, Jombang.
Dan dengan hati ikhlas, didasari kewajiban berda’wah dan menebar persatuan di
antara para ulama menghadapi berbagai ancaman agama, mereka mendirikan
Jam’iyyah Nahdlatul Oelama (NO).
Jam’iyyah ini bukan organisasi
biasa. Tak hanya didirikan berdasarkan pertimbangan strategis semata. Tetapi
lebih dari itu. Para muassis menyiapkan
jam’iyyah ini secara dzahir, juga batin. dari faktor spiritual, lahirnya NU,
diawali dengan proses istikharah dua tahun lebih atas permohonan Hadratus
Syeikh KH Hasyim Asy’ari kepada KH Kholil Bangkalan dengan tujuan meminta
petunjuk kepada Allah agar diberi jalan terbaik untuk melestarikan perjuangan
para Ulama mempertahankan aqidah Islam ahlussunnah wal jamaah. Pada tahun 1924
, KH Kholil Bangkalan menyampaikan hasil istikharah ke Jombang dengan mengutus
santri yang bernama As’ad Syamsul Arifin.
Ada isyarat istikharah yaitu
sebuah tongkat disertai surat
THOHA ayat 17 s/d 23 antara lain ayatnya “WA MAA TILKA BIYAMIINIKA YAA MUUSAA ,
QOOLA HIYA ‘ASHOOYA…” . Pada akhir Desember 1925, yakni detik-detik menjelang
kelahiran NU ada hasil istikharah kedua dari Bangkalan dan dikirim kembali ke
Jombang lewat santri kesayangan Mbah Kholil berbentuk tasbih yang dikalungkan di
leher santri As’ad Syamsul Arifin . Setiba di Jombang seuntai tasbih itu
diambil langsung oleh Mbah Hasyim, sambil ditanya apa ada titipan lain, dijawab
“ada bacaan” YAA JABBAAR, YAA QOHHAAR 3X . Sebuah isyarat keperkasaan. Hasil
isyarat istikharah itu bagi Mbah Hasyim sudah cukup, sebagai bahan pertimbangan
bahwa “Komite Hijaz” untuk diubah menjadi Jam’iyyah yang bersifat permanen dan
diberi nama “NAHDLATUL ULAMA” atas usul KH Abdul Aziz, dengan tujuan utama
melaksanakan misi Rasulullah yakni “RAHMATAL LIL ‘ALAMIN” . Tetap perkasa dan
tetap berpegang pada tongkat komando para ulama untuk senantiasa bangkit dan
berkhidmat kepada umat dan bangsa .
Ketika Raja Ibnu Saud hendak
menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak
menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini
banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat
sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan
pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925,
akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar
'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang
gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat
delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh
KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren
yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam
di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di
Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing.
Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan
berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka
setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan
lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah
berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk
organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16
Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH.
Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar
orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal
Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU ,
yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam
bidang sosial, keagamaan dan politik.
B. Paham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut
paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an,
Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada
tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial
dalam NU.
C.
Sikap Kemasyarakatan
Nahdlatul Ulama (NU) menganut
paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli
(skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an,
Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam
bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid
Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke Khittah pada
tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran
Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika
sosial dalam NU.
D.
Basis Pendukung
Jumlah warga Nahdlatul Ulama
(NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang,
dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa.
Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki
masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal
Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren
yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini
mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan
industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama
ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada
sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan
terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas,
sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
E.
Dinamika
Prinsip-prinsip dasar yang
dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah diterjemahkan dalam perilaku kongkrit.
NU banyak mengambil kepeloporan dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan
bahwa organisasi ini hidup secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan
zaman. Prestasi NU antara lain:
1.
Menghidupkan
kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana diwariskan oleh para walisongo
dan pendahulunya.
2.
Mempelopori
perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat Islam sedunia bisa
menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-masing.
3.
Mempelopori
berdirinya Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI) tahun 1937, yang kemudian ikut
memperjuangkan tuntutan Indonesia
berparlemen.
4.
Memobilisasi
perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui Resolusi Jihad yang
dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
5.
Berubah
menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil menempati urutan ketiga
dalam peroleh suara secara nasional.
6.
Memprakarsai
penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 yang diikuti oleh
perwakilan dari 37 negara.
Memperlopori gerakan Islam
kultural dan penguatan civil society di Indonesia sepanjang decade 90-an.
F.
Tujuan Organisasi
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut
paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
1.
Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.
Di
bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan
luas.
3.
Di bidang
sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4.
Di
bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
Mengembangkan usaha lain yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
G.
Struktur
1.
Pengurus
Besar (tingkat Pusat)
2.
Pengurus
Wilayah (tingkat Propinsi)
3.
Pengurus
Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
4.
Majelis
Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
5.
Pengurus
Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)
Untuk tingkat Pusat, Wilayah,
Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1.
Mustasyar
(Penasehat)
2.
Syuriah
(Pimpinan Tertinggi)
3.
Tanfidziyah
(Pelaksana Harian)
Untuk tingkat Ranting, setiap
kepengurusan terdiri dari:
1.
Syuriaah
(Pimpinan tertinggi)
2.
Tanfidziyah
(Pelaksana harian)
Hingga akhir tahun 2000,
jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
·
31
Pengurus Wilayah
·
339
Pengurus Cabang
·
12
Pengurus Cabang Istimewa
·
2.630
Majelis Wakil Cabang
·
37.125
Pengurus Ranting
G. Lembaga
Merupakan pelaksana kebijakan NU
yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
1. Lembaga Dakwah Nahdlatul
Ulama (LDNU)
Program pokok:
·
Pengembangan
organisasi dan SDM di bidang dakwah Islamiyah.
·
Pengembangan
kerukunan antar umat beragama
·
Penyebarluasan
ajaran Islam yang selaras dengan semangat ahlussunah waljama'ah
·
Penggalangan
kegiatan social kemasyarakatan.
Jaringan Organisasi:
·
28
Wilayah
·
328
Cabang
2. Lembaga Pendidikan
Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
Program Pokok:
·
Pengkajian
kependidikan
·
Peningkatan
kualitas tenaga pendidik
·
Pengembangan
pendidikan berbasis masyarakat
·
Pengembangan
kurikulum pendidikan yang dapat memadukan ketinggian ilmu pengetahuan dan
keluhuran budi pekerti
·
Pengembangan
jaringan kerja yang terkait dengan dunia pendidikan
Jaringan Organisasi:
·
20
Wilayah
·
117
Cabang
Jaringan Usaha:
·
3.885
TK/TPQ
·
197
SD dan 3.861 MI
·
378
SLTP dan 733 MTs
·
211
SLTA dan 212 MA
·
44
Universitas dan 23 Akademi/Sekolah Tinggi
3. Lembaga Pelayanan
Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
Program Pokok:
·
Pengkajian
masalah kesehatan
·
Pendidikan
dan pembinaan pelayanan kesehatan
·
Penggalangan
dana bagi para korban bencana alam dan kesehatan
·
Pengembangan
lembaga penanggulangan krisis kesehatan.
Jaringan Organisasi:
·
27
Wilayah
·
100
lebih Cabang
4. Lembaga Perekonomian Nahdlatul
Ulama (LPNU)
Program pokok:
·
Pengkajian
ekonomi
·
Pemetaan
potensi ekonomi warga NU
·
Pemberdayaan
ekonomi masyarakat
·
Pelatihan
Jaringan organisasi:
·
24
Wilayah
·
207
Cabang
5. Lembaga Pengembangan
Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
Program pokok:
·
Pengkajian
masalah pertanian
·
Pengembangan
sumber daya hayati
·
Pembinaan
dan advokasi pertanian
·
Pemberdayaan
ekonomi petani
Jaringan organisasi:
·
19
Wilayah
·
140
Cabang
6. Rabithah Ma'ahid
Islamiyah (RMI)
Program pokok:
·
Pengkajian
kepesantrenan
·
Pengembangan
kualitas pendidikan pesantren
·
Pengembangan
peran social pesantren
·
Pemberdayaan
ekonomi pesantren
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
323
Cabang
Jaringan usaha:
6.830 Pesantren
7. Lembaga Kemaslahatan
Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
Program pokok:
·
Pengkajian
sosial keagamaan
·
Pengembangan
wawasan keluarga sejahtera
·
Pelayanan
kesehatan masyarakat
·
Advokasi
kependudukan dan lingkungan hidup
Jaringan organisasi:
·
22
Wilayah
·
50
lebih Cabang
8. Lembaga Takmir Masjid Indonesia
( LTMI )
Program pokok:
·
Pengembangan
kualitas manajemen rumah ibadah
·
Pengembangan
aktifitas keagamaan masjid
·
Peningkatan
fungsi social masjid
Jaringan organisasi:
16 Wilayah (tingkat propinsi)
9. Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)
Program pokok:
·
Pengkajian
sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan
·
Pengembangan
kreatifitas dan produktifitas masyarakat
·
Pendidikan
dan pembinaan perencanaan strategis
·
Pengembangan
program pembangunan sektoral
Jaringan organisasi:
·
16
Wilayah
·
60
lebih Cabang
10. Sarikat Buruh Muslimin Indonesia
(SARBUMUSI)
Program pokok:
·
Pengembangan
keorganisasian
·
Pengkajian
masalah perburuhan
·
Pendidikan
perburuhan
·
Advokasi
dan perlindungan buruh
·
Peningkatan
kesejahteraan buruh dan keluarganya
Jaringan organisasi:
·
14
Wilayah
·
342
Cabang
·
135
Basis GBLP (Gerakan Buruh Lapangan Pekerjaan)
11. Lembaga Penyuluhan
dan Bantuan Hukum (LPBH)
Program pokok:
·
Pengkajian
hukum dan perundang-undangan
·
Pendidikan
kepengacaraan
·
Advokasi
dan penyuluhan hukum
·
Kampanye
penegakan hukum dan HAM
Jaringan organisasi:
·
1
Wilayah
·
7
Cabang
12. Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Program pokok:
·
Pengkajian
masalah-masalah actual kemasyarakatan
·
Perumusan
dan penyebarluasan fatwa hukum (Islam)
·
Pengembangan
standarisasi kitab-kitab fikih
Jaringan organisasi:
·
31
Wilayah
·
339
Cabang
Selain 12 Lembaga, 4 Lajnah,
dan 9 Badan Otonom, khusus di tingkat pusat, NU juga memiliki Centre for
Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang
terkait dengan kebijakan strategis pemerintah.
H. Lajnah
Merupakan pelaksana program
Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
1. Lajnah Falakiyah (LF-NU)
Program pokok:
·
Kajian
keagamaan yang menyangkut masalah falakiyah
·
Pendidikan
dan pelayanan informasi falakiyah
·
Penerbitan
almanak NU
Jaringan organisasi:
5 Wilayah
2. Lajnah Ta'lif
wan Nasyr (LTN-NU)
Program pokok:
·
Pengkajian
ke-NU-an dan kemasyarakatan
·
Penulisan
dan penerbitan buku-buku ke-NU-an
·
Penerbitan
media massa
Jaringan organisasi:
16 Wilayah
3. Lajnah Auqaf (LA-NU)
Program pokok:
·
Pengkajian
perwakafan
·
Pengembangan
kualitas pengelolaan harta wakaf warga NU
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
100
lebih Cabang
4. Lajnah Zakat,
Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
Program pokok:
·
Pengkajian
masalah zakat, infaq, dan shadaqah
·
Pengembangan
efektivitas pola pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
100
lebih Cabang
I.
Badan Otonom
Merupakan pelaksana kebijakan
NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
1. Jam'iyyah Ahli Thariqah
Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
Program pokok:
·
Pengkajian
ketarekatan dan keagamaan
·
Pengembangan
ajaran tarekat mu'tabarah di lingkungan NU
·
Pembinaan
praktek tarekat bagi warga NU
Jaringan organisasi:
·
15
Wilayah
·
200
Cabang
2. Muslimat NU
Program pokok:
·
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
·
Pengkajian
keperempuanan dan kemasyarakatan
·
Pengembangan
SDM kaum perempuan
·
Pengembangan
pendidikan kejuruan
·
Pengembangan
usaha social dan advokasi perempuan
Jaringan organisasi:
·
31
Wilayah
·
339
Cabang
·
2.650
Anak Cabang (setingkat MWC)
Jaringan usaha:
·
49
Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin
·
8.522
TK dan TPQ
·
247
Koperasi (koperasi An Nisa)
·
Puluhan
panti yatim piatu, panti balita, asrama putri, dan Balai Latihan Kerja yang
tersebar di pelbagai daerah
3. Gerakan Pemuda Ansor (GP
Ansor)
Program pokok:
·
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
·
Pengembangan
wawasan kebangsaan
·
Pengembangan
SDM di bidang ekonomi, politik, IPTEK, social budaya, dan hukum
·
Pengembangan
jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
·
30
Wilayah
·
337
Cabang
Jaringan usaha:
INKOWINA (Induk Koperasi Wira
Usaha Nasional)
4. Fatayat NU
Program pokok:
·
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
·
Kajian
kepemudaan dan keperempuanan
·
Pendidikan
dan penyuluhan kesehatan masyarakat
·
Penanggulangan
krisis social, terutama menyangkut perbaikan kualitas generasi muda
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
334
Cabang
5. Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU)
Program pokok:
·
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
·
Pengkajian
social kemasyarakatan
·
Pengembangan
kreatifitas pelajar
·
Penggalangan
dana beasiswa bagi pelajar kurang mampu
·
Pendidikan
dan pembinaan remaja penyandang masalah social
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
265
Cabang
Jaringan Usaha:
KOPUTRA (Koperasi Putra
Nusantara)
6. Ikatan Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Program pokok:
·
Pengkaderan
dan pengembangan keorganisasian
·
Pengkajian
social keagamaan serta masalah remaja dan kepelajaran
·
Pendidikan
dan pelayanan kesehatan remaja
·
Pengembangan
pendidikan bagi pelajar putus sekolah
Jaringan organisasi:
·
26
Wilayah
·
316
Cabang
7. Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU)
Program pokok:
·
Pemetaan
dan pengembangan potensi kader terdidik NU
·
Optimalisasi
peran dan mobilitas social warga NU
·
Pengkajian
masalah-masalah keindonesiaan
·
Pengembangan
jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
·
5
Wilayah
·
17
Cabang
8. Ikatan Pencak Silat
Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Program pokok:
·
Pendidikan
bela diri pencak silat.
·
Pembinaan
dan pengembangan tenaga keamanan di lingkungan NU.
·
Pengembangan
kerja social kemanusiaan
Jaringan organisasi:
·
15
Wilayah
·
110
Cabang
9. Jami'iyyatul Qurro wal
Huffadz (JQH)
Program pokok:
·
Pengkajian
dan pengembangan seni baca Al-Qur'an.
·
Pendidikan
dan pembinaan qira'atul Qur'an.
·
Pengembangan
SDM di bidang tahfidzul Qur'an.
·
Penyelenggaraan
MTQ.
Jaringan organisasi:
·
27
Wilayah
·
339
Cabang
*Selain 10 Badan Otonom, 5 Lajnah, dan 10 Lembaga, khusus di tingkat Pusat NU juga memiliki Centre for Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan strategis pemerintah.
J. Riwayat Perjuangan Jam'iyyah
Nahdlatul Ulama'
Setelah kaum Wahabi melalui
pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh
daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia.
Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka
mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan
masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang
dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua
batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat
memprihatinkan bangsa Indonesia
yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang
menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat
madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh
bangsa Indonesia
sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia
tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap
sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di
seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap
penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan
di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu
organisasi yang diberi nama Comite Hejaz,
yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz
bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz
untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal
pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram
kepada raja Ibnu Sa'ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M.
atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan
pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang
timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru
yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus
HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:
Ra'is
Akbar
|
:
|
Hadlratus
Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
|
Wakil
Ra'is
|
:
|
KH.
Said bin Shalih
|
Katib
Awwal
|
:
|
KH.
Abdul Wahab Hasbullah
|
Katib
Tsani
|
:
|
Mas
H. Alwi Abdul Aziz
|
A'wan
|
:
|
1.
KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU) 3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. 4. KH. Said. 5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya. 6. KH. Nahrawi Thahir, Malang. 7. KH. Amin, Surabaya. 8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng |
Musytasyar
|
:
|
1.
KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang. 3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan. 4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan. 5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. 6. KH. Hambali, Kudus. |
Presiden
|
:
|
H.
Hasan Gipo
|
Penulis
|
:
|
H.
Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
|
Bendahara
|
:
|
H.
Burhan
|
Komisaris
|
:
|
H.
Saleh Syamil
H. Ihsan H. Nawawi H. Dahlan Abd. Qohar Mas Mangun |
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul
Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di
seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan
sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang
diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah Jam'iyyah Nahdlatul
Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan.
Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan
seluruhnya kepada Jam'iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja
lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas
yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat
Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
1.
Pada
bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di
Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU, seperti:
PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah
mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan
KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan
oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah
NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul
Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini
berhasil dengan baik.
Kedua beliau ini pulang dengan
membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia
tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya
antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu
ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam
menurut paham yang dianutnya.
2.
Sesuai
dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir,
Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana
pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
1.
Ordonansi
Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan
hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
2.
Pelimpahan
pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan
ketentuan hukum di luar Islam.
3.
Persoalan
pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang
bermukim di luar negeri.
4.
Dan
lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak
pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal
politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929
Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah
Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia
Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah
Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN
NAHDLATUL ULAMA" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri,
yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar)
Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada
para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan
Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang
itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna
simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi,
Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar
berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif
singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, yang antara lain:
1.
Jam'iyyah
Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai
yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy'ari.
2.
Kesadaran
ummat Islam Indonesia
akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai
kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang
harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat
perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup
melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada
tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul
Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan
keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
·
Madrasah
Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa
belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan
masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan
masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu'allimin Wustha,
dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu'allimin 'Ulya,
dengan masa belajar 3 tahun.
·
Madrasah
Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira'ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara' (untuk
orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy
Al A'la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda,
ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah
Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar
Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk
menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk
mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul
Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia
dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI),
dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua
Dewan
|
:
|
KH.
Abdul Wahid Hasyim, dari NU
|
Wakil
Ketua Dewan
|
:
|
W.
Wondoamiseno, dari PSII
|
Sekretaris
(ketua)
|
:
|
H.
Fakih Usman, dari Muhammadiyah
|
Penulis
|
:
|
S.A.
Bahresy, dari PAI
|
Bendahara
|
:
|
1.
S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah 3. Dr. Sukiman, dari PII |
Adapun tujuan perjuangan yang
akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
·
Menggabungkan
segala perhimpunan ummat Islam Indonesia
untuk bekerja bersama-sama.
·
Berusaha
mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik
yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
·
Merapatkan
hubungan antara ummat Islam Indonesia
dengan ummat Islam di luar negeri.
·
Berdaya
upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
·
Membangun
Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952
Kelahiran Majlis Syura Muslimin
Indonesia
(MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang,
MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI
tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
·
Menyadarkan
rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga
bagi kemakmuran bersama.
·
Penerangan-penerangan
dan tafsir Al Qur'an.
·
Khutbah-khutbah
dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang
terkenal.
·
Memberi
keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya
untuk membangunkan Asia Timur Raya.
·
Memperkenalkan
kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan
Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di
hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir
Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada
pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan
golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan
dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori
kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi
yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik
yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju
Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat
dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang
memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama'
di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh
pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar
sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung),
penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan
tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'.
Oleh karena itu, penjajah
Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya,
maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada
para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer,
seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri
mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan
kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan
senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan
pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan
kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah
dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan
Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah
menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai
Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit
kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan
mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang
ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa
bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta
fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan
bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau
ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10
November '45
Pengurus Besar NU hampir
sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam
dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya
di Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal
tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri
dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut
perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu
disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah
pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang
merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres
tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari
Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis
Syura (Dewan Partai)
|
||
Ketua
Umum
|
:
|
Hadlratus
Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
|
Ketua
Muda I
|
:
|
Ki
Bagus Hadikusuma
|
Ketua
Muda II
|
:
|
KH.
Abdul Wahid Hasyim
|
Ketua
Muda III
|
:
|
Mr.
Kasman Singodimejo
|
Anggota
|
:
|
1.
RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim. 3. KH. Abdul Wahab Hasbullah. 4. KH. Abdul Halim. 5. KH. Sanusi. 6. Syekh Jamil Jambek |
Pengurus
Besar
|
||
Ketua
|
:
|
Dr.
Sukirman
|
Ketua
Muda I
|
:
|
Abi
Kusno Tjokrosuyono
|
Ketua
Muda II
|
:
|
Wali
Al Fatah
|
Sekretaris
I
|
:
|
Harsono
Tjokreoaminoto
|
Sekretaris
II
|
:
|
Prawoto
Mangkusasmito
|
Bendahara
|
:
|
Mr.
R.A. Kasmat
|
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri
Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam
tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab
Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam
untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang
dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan
akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah
modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada
konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII
(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak
dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang
mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah
mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi
segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka
rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai
kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik.
Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang
dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena
keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri
lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada
organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh
pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar
Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang
berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi
dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto;
dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah
merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul
Ulama'. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat
Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar
organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam,
sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi
yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga
memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di
Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri
sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama' membentuk Liga
Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama' keluar
dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih
gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul
Ulama' mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang
berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang
sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini
mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30
Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di
Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari
Nahdlatul Ulama', PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama' menjadi
Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada
surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal
30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan
anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama'
pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi
selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama'
dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah
kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai
Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang
di kawasan Indonesia,
bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas
pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang
manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan
kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya.
Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci,
mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para
pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang
sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh
pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus
dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini
terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955.
Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan
bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang
menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul
Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut
aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang
membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang
militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan
Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan
sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan
program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan
dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan
sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan.
Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam
mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968,
Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali,
justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok
Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai
terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu
dicurahkan dalam masalah-masalah politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971,
Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa
anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul
Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua
partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI,
yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah
timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan
partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'.
Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan
tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi.
Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang
berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan
oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah
Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini
tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan elit ini
sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul
Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan
individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit.
Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari
Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.
Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada
Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama' berfusi
dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang
lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak
ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak
disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan
mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan
ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama'
secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah
menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud
kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada
agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat
Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya
sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik
selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri
semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana
dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'.
Dari kejadian demi kejadian dan
bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama'
secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama'
tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari
kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam
Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982. (Drs. KH.
Achmad Masduqi)
K. Muqaddimah Qanun Asasi
Pidato Rois Akbar Hadratus
Syekh Hasyim Asy’ari
Garis Perjuangan dan Jati Diri
NU
Segala puji bagi Allah yang
telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba Nya agar menjadi pemberi peringatan
kepada sekalian umat dan menganugerahinya hikmah serta ilmu tentang sesuatu
yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka benar-benar
mendapat keberuntungan yang melimpah.
Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): “Wahai nabi, Aku utus engkau sebagai saksi, pemberi kabar gembira dan
penyeru kepada (agama) Allah serta sebagai pelita yang menyinari.” (Q.S. Al
Ahzab:45-46)
“Serulah ke jalan Tuhanmu
dengan bijaksana, peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan yang lebih
baik. Sesungguhnya Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan Nya
dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.” (Q.S. An Naml:125)
“Maka berilah kabar gembira
hamba-hambaKu yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik dari
nya. Merekalah orang-orang yang diberi hidayah oleh Allah dan merekalah orang-orang
yang mempunyai akal.” (Az Zumar:17-18)
“Dan katakanlah: segala puji
bagi Allah yang tak beranakkan seorang anakpun, tak mempunyai sekutu penolong
karena ketidak mampuan. Dan agungkanlah seagung-agungnya.” (Q.S. al Kahfi:111)
“Dan sesungguhnya inilah jalan
Ku (agama Ku) yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan ikuti berbagai jalan
(yang lain) nanti akan mencerai-beraikan kamu dari jalan Nya. Demikianlah Allah
memerintahkan agar kamu semua bertagwa.” (Q.S. Al An’am 153)
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan ta’atilah Rasul; serta ulil amri diantara kamu, kemudian
jika kamu berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada
Allah dan Rasul kalau kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Yang demikian itu lebih bagus dan lebih baik kesudahannya.” (Q.S. An Nisa’:59)
“Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Al A’raf: 157).
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) pada
berdo’a: Ya Tuhan ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului
kami beriman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hasyr:10)
“Wahai manusia, sesungguhnya
Aku telah menciptakan kamu dari seorang lelaki danseorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa
kepada Allah diantara kamu semua.” (Q.S. Al Hujurat:13)
“Sesungguhnya yang takut kepada
Allah diantara hamba-hamba Nya hanyalah Ulama.” (Q.S. Al Fathir:58) “Diantara
orang-orang yang mukmin ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan
kepada Allah, lalu diantara mereka ada yang gugur dan diantara mereka ada yang
menunggu, mereka sama sekali tidak merubah (janjinya).” (Q.S. Al Ahzab:23)
“Wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan beradalah kamu bersama orang-orang
yang jujur.” (Q.S. At Taubah:119) “Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada
Ku.” (Q.S. Luqman:15) “Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang berilmu
jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al Anbiya’:7)
“Adapun orang-orang yang dalam
hati mereka terdapat kecenderungan menyeleweng, maka mereke mengikuti ayat-ayat
yang metasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari
takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Sedangkan
orang-orang yang mendalam ilmunya mereka mengatakan, ‘Kami beriman kepada
ayat-ayat mutasyabihat itu, semuanya dari sisi Tuhan kami.’ Dan orang-orang
yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya).” (Q.S. Ali
Imron:7)
“Barang siapa menentang Rasul
setelah petunjuk jelas padanya dan dia mengikuti selain ajaran-ajaran orang
mukmin, maka Aku biarkan ia menguasai kesesatan yang telah dikuasainya (terus
bergelimang dalam kesesatan) dan Aku masukkan ke neraka jahanam. Dan neraka
jahanan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali;” (Q.S. An Nisa’:115)
“Takutlah kamu semua akan
fitnah yang benar-benar tidak hanya khusus menimpa orang-orang dzalim diantara
kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat dahsyat siksa Nya.” (Q.S. Al Anfal:25)
“Janganlah kamu bersandar kepada orang-orang dzalim, maka kamu akan disentuh
api neraka.”
“Wahai orang-orang yang
beriman, jagalah diri-diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu, diatasnya berdiri Malaikat-malaikat yang
kasar, keras, tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan
Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka.”
(Q.S. At Tahrim:6)
“Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang mengatakan, ‘Kami mendengar’, padahal mereka tidak mendengar.”
(Q.S. Al Anfal:21). “Sesungguhnya seburuk-buruk mahluk melata, menurut Allah,
ialah mereka yang pekak (tidak mau mendengar kebenaran) dan bisu (tidak mau
bertanya dan menuturkan kebenaran) yang tidak berpikir.” (Q.S. Al Anfal:22)
“Dan hendaklah ada diantara
kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah kemungkaran. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S.
Ali Imron:104). “Dan saling tolong menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan taqwa; janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat dahsyat siksa Nya.”
(Q.S. Al Maidah:2)
“Wahai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta berjaga-jagalah
(menghadapi serangan musuh diperbatasan). Dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran:200). “Dan berpegang teguhlah
kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan jangan kamu bercerai-berai, dan
ingatlah ni’mat Allah yang dilimpahkan kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan
lalu Allah merukunkan antara hati-hati kamu, kemudian kamu pun (karena
ni’matnya) menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Q.S. Ali Imron:103)
“Dan janganlah kamu saling
bertengkar, nanti kamu jadi gentar dan hilang kekuatanmu dan tabahlah kamu.
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang tabah.” (Q.S. Al Anfal:46).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu dirahmati.” (Q.S.
Alhujurat:10)
“Kalau mereka melakukan apa
yang dinasehatkan kepada mereka, niscaya akan lebih baik bagi mereka dan
memperkokoh (iman mereka). Dan kalau memang demikian, niscaya Aku anugerahkan
kepada mereka pahala yang agung dan Aku tunjukkan mereka jalan yang lempang.” (Q.S.
An Nisa’:66-68). “Dan orang-orang yang berjihad dalam (mencari) keridloanku,
pasti Aku tunjukkan mereka jalan Ku, sesungguhnya Allah benar-benar bersama
orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al Ankabut:69)
“Sesungguhnya Allah dan
Malaikat-malaikat bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman
bersalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah dengan penuh penghormatan.” (Q.S.
Al Ahzab:56). “… Dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka (Muhajirin dan
Anshar) dengan baik, Allah ridla kepada mereka.”
Amma Ba’du. Sesungguhnya pertemuan dan
saling mengenal persatuan dan kekompakan adalah merupakan hal yang tidak
seorangpun tidak mengetahui manfaatnya. Betapa tidak. Rasulullah SAW
benar-benar telah bersabda yang artinya: “Tangan Allah bersama jama’ah. Apabila
diantara jama’ah itu ada yang memencil sendiri, maka syaitan pun akan
menerkamnya seperti halnya serigala menerkam kambing.” “Allah ridla kamu
sekalian menyembah Nya dan tidak menyekutukan Nya dengan sesuatu apapun.”
“Kamu sekalian berpegang teguh
kepada tali (agama) Allah seluruhnya dan jangan bercerai-berai; Kamu saling
memperbaiki dengan orang yang dijadikan Allah sebagai pemimpin kamu;
Dan Allah membenci bagi kamu,
saling membantah,
banyak tanya
dan menyia-nyiakan harta benda.
“Jangan kamu saling dengki,
saling menjerumuskan, saling bermusuhan, saling membenci dan jangan sebagian
kamu menjual atas kerugian jualan sebagian yang lain dan jadilah kamu,
hamba-hamba Allah, bersaudara.” (H.R. Muslim)
Suatu ummat bagai jasad yang
satu.
Orang-orangnya ibarat
anggota-anggota tubuhnya.
Setiap anggota punya tugas dan
perannya.
Seperti dimaklumi, manusia
tidak dapat tidak bermasyarakat, bercampur dengan yang lain; sebab seseorang
tak mungkin sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau
dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak
keburukan dan ancaman bahaya daripadanya.
Karena itu, persatuan, ikatan
batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seia
sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan factor paling
kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang.
Berapa banyak negara-negara
yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan
jalan-jalan menjadi lancar, perhubungan menjadi ramai dan masih banyak
manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan merupakan keutamaan yang paling besar
dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh.
Rasulullah SAW telah
mempersaudarakan sahabat-sahabatnya sehingga mereka (saling kasih, saling
menyayangi dan saling menjaga hubungan), tidak ubahnya satu jasad; apabila
salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, seluruh jasad ikut merasa demam dan
tidak dapat tidur.
Itulah sebabnya mereka menang
atas musuh mereka, kendati jumlah mereka sedikit. Mereka tundukkan raja-raja.
Merke ataklukkan negeri-negeri. Mereka buka kota-kota. Mereka bentangkan
payung-payung kemakmuran. Mereka bangun kerajaan-kerajaan. Dan mereka lancarkan
jalan-jalan.
Friman Allah, “Wa aatainaahu
min kulli syai’in sababa.” “Dan Aku telah memberikan kepadanya jalan (untuk
mencapai) segala sesuatu.” Benarlah kata penyair yang mengatakan dengan
bagusnya:
‘Berhimpunlah anak-anakku bila
Kegentingan datang melanda
Jangan bercerai-berai
sendiri-sendiri
Cawan-cawan enggan pecah bila
bersama
Ketika bercerai
Satu-satu pecah berderai.”
Sayyidina Ali karramallau
wajhah berkata: “Dengan perpecahan tak ada satu kebaikan dikaruniakan Allah
kepada seseorang, baik dari orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang
belakangan.”
Sebab, satu kaum apabila
hati-hati mereka berselisih dan hawa nafsu mereka mempermainkan mereka, maka
mereka tidak akan melihat sesuatu tempat pun bagi kemaslahatan bersama. Mereka
bukanlah bangsa bersatu, tapi hanya individu-individu yang berkumpul dalam arti
jasmani belaka. Hati dan keinginan-keinginan bereka saling berselisih. Engkau
mengira mereka menjadi satu, padahal hati mereka berbeda-beda.
Mereka telah menjadi seperti
kata orang: “Kambing-kambing yang berpencaran di padang terbuka. Berbagai binatang buas telah
mengepungnya. Kalau sementara mereka tetap selamat, mungkin karena binatang
buas belum sampai kepada mereka (dan pasti suatu saat akan sampai kepada
mereka) atau karena saling berebut, telah menyebabkan binatang-binatang buas
itu saling berkelahi sendiri antara mereka. Lalau sebagian mengalahkan yang
lain. Dan yang menangpun akan menjadi perampas dan yang kalah menjadi pencuri.
Si kambingpun jatuh antara si perampas dan si pencuri.
Perpecahan adalah penyebab
kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran
dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan
kenistaan. Betapa banyak keluarga-keluarga besar semula hidup dalam keadaan
makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu ketika kalajengking
perpecahan merayapi mereka, bisanya menjalar meracuni hati mereka dan
syaitanpun melakukan perannya, mereka kucar-kacir tak keruan. Dan rumah-rumah
mereka runtuh berantakan.
Sahabat Ali karramallahu wajhah
berkata dengan fasihnya: “Kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan
perpecahan dan kebatilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan
kekompakan.”
Pendek kata siapa yang melihat
pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal
bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa saja yang terjadi pada mereka
hingga pada saat-saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah
menggelimang mereka, kebangggan yang pernah mereka sandang, dan kemuliaan yang
pernah menjadi perhiasan mereka tidak lain adalah karena berkat apa yang secara
kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah
setujuan dan pikiran-pikiran mereka seiring. Maka inilah factor paling kuat
yang mengangkat martabat dan kedaulatan mereka, dan benteng paling kokoh bagi
menjaga kekuatan dan keselamatan ajaran mereka.
Musuh-musuh mereka tak dapat
berbuat apa-apa terhadap mereka, malahan menundukkan kepala, menghormati mereka
karena wibawa mereka. Dan merekapun mencapai tujuan-tujuan mereka dengan
gemilang.
Itulah bangsa yang mentarinya
dijadikan Allah tak pernah terbenam senantiasa memancar gemilang. Dan
musuh-musuh mereka tak dapat mencapai sinarnya.
Wahai ulama dan para pemimpin
yang bertaqwa di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan keluarga madzhab imam
empat; Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda,
orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalan
sanad yang bersambung sampai kepada anda sekalian, dan anda sekalian selalu
meneliti dari siapa anda menimba ilmu agama anda itu.
Maka dengan demikian, anda
sekalian adalah penjaga-penjaga ilmu dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu.
Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu. Siapa yang memasukinya
tidak melalui pintunya, disebut pencuri.
Sementara itu segolongan orang
yang terjun ke dalam lautan fitnah; memilih bid’ah dan bukan sunnah-sunnah
Rasul dan kebanyakan orang mukmin yang benar hanya terpaku. Maka para ahli
bid’ah itu seenaknya memutar balikkan kebenaran, memunkarkan makruf dan
memakrufkan kemunkaran.
Mereka mengajak kepada kitab
Allah, padahal sedikitpun mereka tidak bertolak dari sana.
Mereka tidak berhenti sampai di
situ, malahan mereka mendirikan perkumpulan pada perilaku mereka tersebut. Maka
kesesatan semakin jauh. Orang-orang yang malang
pada memasuki perkumpulan itu. Mereka tidak mendengar sabda Rasulullah SAW:
“Fandhuru ‘amman ta’khudzuuna dienakum.” Maka lihat dan telitilah dari
siapa kamu menerima ajaran agamamu itu. “Sesungguhnya menjelang hari kiamat,
muncul banyak pendusta.”. “Janganlah kamu menangisi agama ini bila ia berada dalam
kekuasaan ahlinya. Tangisilah agama ini bila ia berada di dalam kekuasaan bukan
ahlinya.”
Tepat sekali sahabat Umar bin
Khattab radliyallahu ‘anhu ketika berkata: “Agama Islam hancur oleh perbuatan
orang munafiq dengan Al-Qur’an.”
Anda sekalian adalah
orang-orang yang lurus yang dapat menghilangkan kepalsuan ahli kebathilan,
penafsiran orang yang bodoh dan penyelewengan orang-orang yang over acting;
dengan hujjah Allah, Tuhan semesta alam, yang diwujudkan melalui lesan orang
yang ia kehendaki.
Dan anda sekalian kelompok yang
disebut dalam sabda Rasulullah SAW: “Anda sekelompok dari umatku yang tak
pernah bergeser selalu berdiri tegak diatas kebenaran, tak dapat dicederai oleh
orang yang melawan mereka, hingga datang putusan Allah.”
Marilah anda semua dan segenap
pengikut anda dari golongan para fakir miskin, para hartawan, rakyat jelata dan
orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk Jam’iyyah yang diberi nama
“Jam’iyyah Nahdlatul Ulama” ini. Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang,
rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga.
Ini adalah jam’iyyah yang
lurus, bersifat memperbaiki dan menyantuni. Ia manis terasa di mulut
orang-orang yang baik dan bengkal di tenggorokan orang-orang yang tidak baik.
Dalam hal ini hendaklah anda sekalian saling mengingatkan dengan kerjasama yang
baik, dengan petunjuk yang memuaskan dan ajakan memikat serta hujjah yang tak
terbantah.
Sampaikan secara
terang-terangan apa yang diperintahkan Allah kepadamu, agar bid’ah-bid’ah
terberantas dari semua orang. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila fitnah-fitnah
dan bid’ah-bid’ah muncul dan sahabat-sahabatku di caci maki, maka hendaklah
orang-orang alim menampilkan ilmunya. Barang siapa tidak berbuat begitu, maka
dia akan terkena laknat Allah, laknat Malaikat dan semua orang.”
Allah SWT berfirman: “Wa
ta’awanuu ‘alalbirri wattaqwa”. Dan saling tolong menolonglah kamu dalam
mengerjakan kebaikan dan taqwa kepada Allah. Sayyidina Ali karramallahu wajhah
berkata: “Tak seorang pun (betapapun lama ijtihadnya dalam amal) mencapai
hakikat taat kepada Allah yang semestinya. Namun termasuk hak-hak Allah yang
wajib atas hamba-hamba Nya adalah nasehat dengan sekuat tenaga dan saling bantu
dalam menegakkan kebenaran diantara mereka.”
Tak seorangpun (betapapun
tinggi kedudukannya dalam kebenaran, dan betapapun luhur derajat keutamaannya
dalam agama) dapat melampaui kondisi membutuhkan pertolongan untuk memikul hak
Allah yang dibebankan kepadanya. Dan tak seorangpun (betapa kerdil jiwanya dan
pandangan-pandangan mata merendahkannya) melampaui kondisi dibutuhkan
bantuannya dan dibantu untuk itu.
(”Artinya tak seorangpun betapa
tinggi kedudukannya dan hebat dalam bidang agama dan kebenaran yang dapat lepas
tidak membutuhkan bantuan dalam melaksanakan kewajibannya terhadap Allah, dan
tak seorangpun betapa rendahnya, tidak dibutuhkan bantuannya atau diberi
bantuan dalam melaksanakan kewajibannya itu”. Penterjemah).
Tolong menolong atau saling
Bantu pangkal keterlibatan umat-umat. Sebab kalau tidak ada tolong menolong,
niscaya semangat dan kemauan akan lumpuh karena merasa tidak mampu mengejar
cita-cita. Barang siapa mau tolong menolong dalam persoalan dunia dan
akhiratnya, maka akan sempurnalah kebahagiaannya, nyaman dan sentosa hidupnya.
Sayyidia Ahmad bin Abdillah As
Saqqaf berkata: “Jam’iyyah ini adalah perhimpunan yang telah menampakkan
tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerah menyatu, bangunan-bangunannya telah
berdiri tegak, lalu kemana kamu akan pergi? Kemana?”
“Wahai orang-orang yang
berpaling, jadilah kamu orang-orang pertama, kalau tidak orang-orang yang
menyusul (masuk jam’iyyah ini). Jangan sampai ketinggalan, nanti suara
penggoncang akan menyerumu dengan goncangan-goncangan:
“Mereka (orang-orang munafiq
itu) puas bahwa mereka ada bersama orang-orang yang ketinggalan (tidak masuk
ikut serta memperjuangkan agama Allah). Hati mereka telah dikunci mati, maka
mereka pun tidak bias mengerti.” (Q.S. At Taubah:17)
“Tiada yang merasa aman dari
azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (Q.S. Al A’raf:99). Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau memberi
hidayah kepada kami, anugerahkanlah kepada kami rahmat dari sisi Mu;
sesungguhnya Engkau Maha Penganugerah. ((Q.S. Ali Imron:8)
Ya Tuhan kami, ampunilah bagi
kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari diri-diri kami kesalahan-kesalahan kami
dan wafatkan kami beserta orang-orang yang berbakti. (Q.S. Ali Imron:193). Ya
Tuhan kami, karuniakanlah kami apa yang Engkau janjikan kepada kami melalui
utusan-utusan Mu dan jangan hinakan kami pada hari kiyamat. Sesungguhnya Engkau
tidak pernah menyalahi janji. (Q.S. Ali Imron:194)
Diterjemahkan oleh K.H.A.
Musthofa Bisri, Rembang, Menjelang Muktamar ke 27 di Situbondo
مقدمة القانون
الأساسى
مقدمة
القانون الأساسى لجمعية نهضة العلماء
للشيخ العالم الفاضل محمد هاشم أشعرى الجومبانى
اَلْحَمْدُ اِللهِ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى
عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا.( الفرقان/1 )
وَأتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا
يَشَاءُ.( البقرة/251 )
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا
كَثِيْرًا.( البقرة/269 )
قَالَ
تَعاَلَى:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّااَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا
وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا.وَدَا عِيًا اِلِى اللهِ بِاِذْنِهِ وَسِرَاجًا
مُنِيْرًا.( الأحزاب/45-46)
اُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ. ( النمل/125)
فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ
فَيَتَّبِعُوْنَ اََحْسَنَهُ. أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ. وَأُولَئِكَ
هُمْ أُولُو اْلاَلْبَابِ. ( الزمر/17-18)
وَقُلِ الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ
الذُّلِّ وَكَـبِّرْهُ تَكْبِيْرًا. ( الكهف/111)
وَاَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ. وَلاَ
تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ. ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ
بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.( الأنعام/153 )
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْآ اَطِيْعُوااللهَ
وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ وَأُولِىاْلأَمْرِمِنْكُمْ. فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ
شَيْئٍ فَرُدُّوهُ اِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً.( النساء/59 )
فَالَّذِيْنَ آَمَنُوْا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ
وَاتَّبَعُوْاالنُّوْرَالَّذِيْ أُنْزِلَ مَعَهُ اُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ.(
الأعراف/157)
وَالَّذِيْنَ جَـاؤُامِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا
اغْفِرْلَنَاوَِلإِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَابِاْلإِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ
فِيْ قُلُوْبِنَاغِلاًّ لِلَّذِيْنَ آَمَنُوْارَبَّنَااِنَّكَ رَؤُفٌ
رَحِيْمٌ.(الحشر/10 )
يَااَيُّهَاالنَّاسُ اِنَّاخَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَىوَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًاوَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَاللهِ اَتْقَاكُمْ.( الحجرات/3 1 )
اِنَّمَا يَخْشَىاللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.(
الفاطر/28 )
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَاعَا هَدُوْا اللهَ
عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا
بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً.( الأحزاب/23 )
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْااللهَ وَكُوْنُوْا
مَعَ الصَّادِقِيْنَ.( التوبه/119 )
وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ اِلَيَّ.( لقمان/15 )
فَاسْئَلُوْا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ.(
الانبياء/7 )
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ.( الإسراء/36 )
فَأَمَّاالذِّيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ
مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ.وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّاللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ
آَمَنَّابِهِ.كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ اِلاَّ
اُولُوْاْلاَلْبَابِ.( ال عمران/7 )
وَمَنْ يَشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَسَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا.( النساء/115 )
وَاتَّقُوْافِتْنَة ًلاَتُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ
ظَلَمُوْامِنْكُمْ خآصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.(
الأنفال/25 )
وَلاَتَرْكَنُوْآ اِلَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْافَتَمَسَّكُمُ
النَّارُ يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاقُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ
نَارَا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآَئِكَةٌ غِلاَظٌ
شِدَادٌلاَيَعْصُوْنَ اللهَ مآاَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُْؤمَرُوْنَ.(
التحريم/6 )
وَلاَتَكُوْنواُ كَالَّذِيْنَ قَالُوْا سَمِعْنَا وَهُمْ
لاَيَسْمَعُوْنَ. ( الأنفال/21 )
اِنَّ شَرَّالدَّوَآبِّ عِنْدَ اللهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ
الَّذِيْنَ لاَيَعْقِلُوْنَ. ( الأنفال/22 )
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ اُمَّةٌ يَدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُوْنَ.( ال عمران/104 )
وَتَعَاوُنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ اللهَ
شَدِيْدُ الْعِقَابِ.( المائدة/2 )
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْااصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا
وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. ( ال عمران/200 )
وَاعْتَصِمُوْابِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَتَفَرَّقُوْا
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ اِذْكُنْتُمْ اَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ اِخْوَانًا. ( ال عمران/103 )
وَلاَتَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ
وَاصْبِرُوْااِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ.( الأنفال/46 )
اِنَّمَاالْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ
اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.( الحجرات/10 )
وَلَوْ اَنَّهُمْ فَعَلُوْامَايُوْعَظُوْنَ بِهِ لَكَانَ
خَيْرًا لَهُمْ وَاَشَدَّ تَثْبِيْتًا وَاِذَا َلأَتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا
اَجْرًا عَظِيْمًا وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسٍتَقِيْمًا.( النساء/66-68 )
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْافِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَاِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ.( العنكبوت/69 )
اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ
يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.(
الأحزاب/56 )
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْالرَبِّهِمْ وَاَقَامُوْاالصَّلاَةَ
وَاَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ.( الشورى/38
)
وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ.( التوبة/10 )
“اَمَّابَعْدُ“
.فَإِنَّ اْلاِجْتِمَاعَ وَالتَّعَارُفَ وَاْلاِتِّحَادَ
وَالتَّآ لُفَ هُوَ اْلاَمْرُالَّذِيْ لاَيَجْهَلُ اَحَدٌ مَنْفَعَتَهُ. كَيْفَ
وَقَدْ قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم:
-
يَدُاللهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ فَاِذَاشَذَّالشَّاذُّ مِنْهُمْ اِخْتَطَفَتْهُ
الشَّيْطَانُ كَمَايَخْتَطِفُ الذِّئْبُ مِنَ الْغَنَمِ.
- اِنَّ اللهَ يَرْضَى لَـكُمْ
ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَـكُمْ اَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تَشْرِكُوْابِهِ شَيْئًا
وَاَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا
وَلاَتَفَرَّقُوْا، وَاَنْ تَنَاصَحُوْامَنْ وَلاَهُ اللهُ اَمْرَكُمْ.
- وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيْلَ
وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَاِضَاعَةَ الْمَالِ.
- لاَتَحَاسَدُوْا
وَلاَتَنَاجَشُوْا وَلاَتَبَاغَضُوْا وَلاَتَدَابَرُوْاوَلاَيَبِعْ بَعْضُكُمْ
عَلَىبَيْعٍ بِعْضٍ. وَكُوْنُوْا عِبَادَاللهِ اِخْوَانًا.( روه مسلم )
قال الشاعر:
اِنَّمَااْلاُمَّةُالْوَحِيْدَةُ كَالْجِسْ*مِ
وَاَفْرَادُهَاكَاْلأَعْضَاءِ
كُلُّ عُضْوٍلَهُ وَظِيْفَةُ صُنْعٍ* لاَتَرَى الْجِسْمُ
عَنْهُ فِى اسْتِغْنَاءِ
وَمِنَ الْمَعْلـُوْمِ اَنَّ النَّاسَ لاَبُدَّ لَهُمْ مِنَ
اْلاِجْتِمَاعِ وَالْمُخَالَطَةِ ِلأَنَّ الْفَرْدَ الْوَاحِدَ لاَيُمْكِنُ اَنْ
يَسْتَقِلَّ بِجَمِيْعِ حَاجَاتِهِ، فَهُوَمُضْظَرٌّبِحُكْمِ الضَّرُوْرَة
اِلَىاْلاِجْتِمَاعِ الَّذِيْ يَجْلِبُ اِلَى اُمَّتِهِ الْخَيْرَ وَيَدْفَعُ
عَنْهَا الشَّرَّ وَالضَّيْرَ.فَاْلإِتِّحَادُ وَارْتِبَاطُ الْقُلُوْبِ بِبَعْضِهَا
وَتَضَافُرُهَا عَلَى اَمْرِ وَاحِدٍ وَاجْتِمَاعُهَاعَلَىكَلِمَةٍوَاحِدَةٍمِنْ
أَهَمِّ اَسْبَابِ السَعَادَةِ وَاَقْوَى دَوَاعِى الْمَحَبَّةِ وَاْلمَوَدَّةِ.
وَكَمْ ِبهِ عُمِّرَتِ البِلاَدُ وَسَادَتِ الْعِبَادُ وَانْتَشَرَ الْعِمْرَانُ
وَتَقَدَّمَتِ اْلاَوْطَانُ وَاُسِّسَتِ الْمَمَالِكُ وسُهِّلَتِ المسَاَلِكُ
وَكَثُرَ التَّوَاصُلُ اِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ فَوَائِدِ اْلاِتِّحَادِ الَّذِيْ
هُوَاَعْظَمُ الْفَضَائِلِ وَأَمْتَنُ اْلاَسْبَابِ وَالْوَسَائِلِ.
وَقَدْ أَخَّى رسول الله صلىالله عليه وسلم بَيْنَ اَصْحَابِهِ
حَتَّىكَأَنَّهُمْ فِيْ تَوَدِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ جَسَدٌ
وَاحِدٌ اِذَاشْتَكَىعُضْوٌ مِنْهُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى
وَالسَّهْرِ، فَبِذَلِِكَ كَانَتْ نُصْرَتُهُمْ عَلَىعَدُوِّهِمْ مَعَ قِلَّةِ
عَدَدِهِمْ فَدَوَّخُوْا اَلْمَمَالِكَ وَافْتَتَحُوْا الْبِلاَدَ وَمَصَّرُوْا
اْلاَمْصَارَ وَمَدُّوْا ظِلاَلَ الْعِمْرَانِ وشَيَّدُوا الْمَمَالِكُ
وَسَهَّلُوْاالْمَسَالِكَ. قَالَ تعالى “وآتَيْنَاهُ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ سَبَبًا”.
فَلِلَّهِ دَرُّمَنْ قال. وَاَحْسَنٌ فِى الْمَقَالِ :
كُوْنُوْا جَمِيْعًا يَا بُنَيَّ اِذَا عَرَا * خَطْبٌ وَلاَ
تَتَفَرَّقُوْا أَحَادًا.
تَأْبىَالْقِدَاحُ اِذَاجْتَمَعْنَ تَكَسُّرًا * وَاِذَا
افْتَرَقْنَ تَكَسَّرَتْ أَفْرَادًا.
وقال علي كرم الله وجهه: اِنَّ اللهَ لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا
بِالْفِرْقَةِ خَيْرًا لاَ مِنَ اْلأَوَّلِيْنَ وَلاَمِنَ اْلأَخِرِيْنَ. ِلأَنَّ
الْقَوْمَ اِذَا تَفَرَّقَتْ قُلُوْبُهُمْ ولعِبَتْ بِهِمْ أَهْوَائُهُمْ
فَلاَيَرَوْنَ لِلْمَنْفَعَةِ الْعَامَّةِ مَحَلاًّ وَلاَمَقَامَا
وَلاَيَكُوْنُوْنَ اُمَّةً مُتَّحِدَةً بَلْ اَحَادًا، مُجْتَمِعِيْنَ اَجْسَادًا،
مُفْتَرِقِيْنَ قُلُوْبًاوَاَهْوَاءً، تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعًاوَقُلُوْبُهُمْ
شَتَّى. وَصَارُوْاكَمَاقِيْلَ:
غَنَمَا مُتَبَدِّدَةً فِيْ صَحْرَاءً. قَدْأَحَاطَتْ
بِهَااَنْوَاعُ السِّبَاعِ، فَبَقَاءُهَا مُدَّةً سَالِمَةً، إِمَّاِلأَنَّ
السِبَاعَ لمَ ْيَصِلْ اِلَيْهَا، وَلاَبُدَّ مِنْ اَنْ يَصِلَ اِلَيْهَا
يَوْمًامَا، وَإِمَّاِلأَنَّ السِّبَاعَ أَدَّتْهُ اَلْمُزَاحَمَةُ
ِالىَالِْقتَالِ بَيْنَهَا، فَيَغْلِبُ فَرِيْقٌ فَرِيْقًا، فَيَصِيْرُ الْغَالِبُ
غَاصِبًا وَالْمَغْلُوْبُ سَارِقًا، فَتَقَعُ الْغَنَمُ بَيْنَ غَاصِبٍ وَسَارِقٍ.
فاَلتَّفَرُّقُ سَبَبُ الضُّعْفِ وَالخِْذْلاَنِ. وَالْفَشْلِ فِيْ جمَِيْعِ
اْلأَزْمَانِ. بَلْ هُوَ مَجْلَبَةُ الْفَسَادِ وَمَطِيَّةُ الْكَسَادِ
وَدَاعِيَةُ الْخَرَابِ وَالدِّمَارِ. وَدَاهِيَةُ اْلعَارِ وَالشَّتَّارِ.
فَكَمْ مِنْ عَائِلاَتً كَبِيْرَةٍ كَانَتْ فِيْ رَغَدٍ مِنَ
اْلعَيْشِ وَبُيُوْتٍ كَثِيْرَةٍكَانَتْ آهِلَةً بِأَهْلِهَا حَتّى اِذَا دَبَّتْ
فِيْهِمْ عَقَارِبُ التَّنَازُعِ وَسَرَى سُمُّهَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ، وَأَخَذَ
مِنْهُمُ الشَّيْطَانُ مَْأخَذَهُ تَفَرَّقُوْا شَذَرَمَذَرَ فَأَصْبَحَتْ
بُيُوْتُهُمْ خَاوِيَةً عَلَى عُرُوْشِهَا.
وَقَدْاَفْصَحَ عَلِيٌّكَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ “ِانَّ
اْلحَقَّ يَضْعُفُ بِاْلإِخْتِلاَفِ وَاْلإِفْتِرَاقِ وَاَنَّ اْلبَاطِلَ قَدْ
يَقْوى بِاْلاِتِّحَادِ وَاْلاِتِّفَاقِ”.
وَبِالْجُمْلَةِ فَمَنْ نَظَرَ فِيْ مِرْأةِ التَّوَارِيْخِ
وَتَصَفَّحَ غَيْرَ قَلِيْلٍ مِنْ اَحْوَالِ اْلأُمَمِ. وَتَقَلَّبَاتِ
الدُّهُوْرِ وَمَاحَصَلَ لَهَا اِلَى هذَا الدُّثُوْرِ. رَأَى اَنَّ عِزَّهَا
الَّذِي كَانَتْ مَغْمُوْسَةً فِيْهِ. وَفَخْرَهَاالَّذِي تَلَفَّعَتْ
ِبحَوَاشِيْهِ وَمَجْدَهَا الَّذِيْ تَقَنَّعَتْ بِهِ وَتَحَلَّتْ بِسِرْبَالِهِ
إِنَّمَاهُوَثَمْرَةُمَاتَعَلَّقَتْ بِهِ وَتَمَسَّكَتْ بِأَذْيَالِهِ مِنْ
اَنَّهُمْ قَدِاتَّحَدَتْ اَهْوَاءُ هُمْ وَاجْتَمَعَتْ كَلِمَتُهُمْ وَاتَّفَقَتْ
وِجْهَتُهُمْ وَتَوَاطَأَتْ اَفْكَارُهُمْ. فَكَانَ هَذَا أَقْوى عَامِلٍ فِيْ
إِعْلاَءِ سَطْوَتِهِمْ وَاَكْبَرَنَصِيْرٍ فِيْ نُصْرَتِهِمْ وَحِصْنًا حَصِيْنًا
فِيْ حِفْظِ شَوْكَتِهِمْ وَسَلاَمَةِ مَذْهَبِهِمْ. لاَتنَاَلُ اَعْدَاءَهُمْ
مِنْهُمْ مَرَامًا. بَلْ يُطَأْطِؤُنَ رُؤُسَهُمْ لِهَيْبَتِهِمْ اِكْرَامًا
وَيَبْلُغُوْنَ شَأْوًا عَظِيْمًا، تِلْكَ أُمَةٌ لاَغَيَّبَ اللهُُ شَمْسًا
تَشْرِفَةْ، وَلاَبَلَّغَ اللهُ عَدُوَّهَا اَنْوَارَهَا.
فَيَااَيُّهَا ألْعُلَمَآءُ ! وَالسَّادَةُ ْالاَتْقِيَآءُ !
مِنْ اَهْلِ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ اَهْلِ مَذَاهِبِ اْلاَئِمَةِ
ْالاَرْبَعَةِ اَنْتُمْ قَدْ أَخَذْتُمُ اْلعُلُوْمَ مِمَّنْ قَبْلَكُمْ وَمَنْ
قَبْلَكُمْ مِمَّنْ قَبْلَهُ بِاتِّصَالِ السَّنَدِ اِلَيْكُمْ وَتَنْظُرُوْنَ
عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ، فَأَنْتُمْ خَزَنَتُهَا وَأَبْوَابُهَا
وَلاَتُؤْتُوا ْالبُيُوْتَ اِلاَّ ِمْن اَبْوَابِهَا. فَمَنْ اََتَاهَا مِنْ
غَيْرِ اَبْوَابِهَا سُمِّيَ سَارِقًا. وَاِنَّ قَوْمًا قَدْخَاضُوْا
بِحَارَالفِتَنِ. وَتَأْخُذُوا بِاْلبِدَعِ دَوْنَ السُّنَنِ وَأَرَزَ
ْألمُؤْمِنُوْنَ اْلمُحِقُّوْنَ اَكْثَرُهُمْ وَتَشَدَّقَ اْلمُبْتَدِعُوْنَ
السَّارِقُوْنَ كُلُّهُمْ فَقَلَّبُوْاالْحَقَائِقَ. وَاَنْكَرُوْااْلمَعْرُوْفَ،
وَعَرَّفُواْالمُنْكَرَ يَدْعُوْنَ اِلَىكِتَابِ اللهِ وَلَيْسُوْا مِنْهُ ِفْي
شَيْئٍ،
وَهُمْ لَمْ يَقْتَصِرُوْا عَلىَ ذلِكَ بَلْ عَمِلُوْا
جَمْعِيَّةً عَلىَ تِلْكَ اْلمَسَالِكِ فَعَظُمَتْ بِذَلِكَ كَبْوَةٌ وَانْتَحَلَ
اِلَيْهَا مَنْ غَلَبَتْ عَلَيْهِ الشَّقْوَةُ، وَلَمْ يَسْمَعُوْا قَوْلَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
- فَانْظُرُوْا عَمَّنْ
تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
- اِنًّ بَيْنَ يَدَيِ
السّاعَةِكَذّابِيْنَ
- لاَتَبْكُوْا عَلىَالدِّيْنِ
اِذَاوَلِيَهُ أََهْلُهُ وَاَبْكُوْاعَلىَالدِّيْنِ اِذَاوَلِيَهُ غَيْرُ اَهْلِهِ
ولقدصدق عمر بن الخطب رضي الله عنه حَيْثُ قَالَ
”يَهْدِمُ اْلاِسْلاَمَ جِدَالُ اْلمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ”وَاَنْتُمُ
اْلعَدُوْلُ الَّذِيْنَ يُنْفُوْنَ انْتِحَالَ اْلمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلِ
اْلجَاهِلِيْنَ وَتَحْرِيْفَ اْلغَالِيْنَ بِحُجَّةِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
اَلَّتِيْ جَعَلَهَا عَلىَلِسَانِ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ، وَأَنْتُمُ الطَّائِفَةُ
الَّتِيْ فِيْ قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم “لاَتَزَالُ طاَئِفَةٌ مِنْ اُمَّتِيْ
عَلىَ اْلحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ ناَوَأَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ
اَمْرُاللهِ”.
فَهَلُّمُوْاكُلُّكُمْ وَمَنْ تَبِعَكُمْ جَمِيْعًا مِنَ
اْلفُقَرَاءِ وَاْلاَغْنِيَاءِ وَالضُّعَفَاءِ وَالاَقوِيَاءِ اِلَى هَذِهِ
اْلجَمْعِيَّةِ اْلمُبَارَكَةِ اْلمَوْسُوْمَةِ بِجَمْعِيَّةِ
نَهْضَةِاْلعُلَمَاءِ. وَادْخُلُوْهَا بِاْلمَحَبَّةِ وَاْلوِدَادِ وَاْلأُلْفَةِ
وَاْلاِتِّحَادِ. وَاْلإِتِّصَالِ بِأَرْوَاحٍِ وَأَجْسَادٍ.
فَإِِنَّهَاجَمْعِيَّةُ عَدْلٍ وَأَمَانٍ وَاِصْلاَحٍ
وَاِحْسَانٍ وَإِنَّهَاحُلْوَةٌبِأَفْوَاهِ اْلأَخْيَارِغُصَّةٌ عَلَىغُلاَصِمِ
اْلاَشْرَارِ. وَعَلَيْكُمْ بِالتَّنَاصُحِ فِيْ ذَلِكَ وَحُسْنِ التَّعَاوُنِ
عَلَى مَاهُنَالِكَ بِمَوْعِظَةٍ شَافِيَةٍ وَدَعْوَةٍ مُتَلاَفِيْةٍ وَحُجَّةٍ
قَاضِيَةٍ.
وَاصْدَعْ بِمَاتُؤْمَرُ لِتَنْقَمِعَ الْبِدَعُ عَنْ اَهْلِ
اْلمَدَرِوَالْحَجَرِ. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “اِذَاظَهَرَتِ الْفِتَنُ
اَوِالْبِدَعُ وسُبَّ اَصْحَابِيْ فَلْيُظْهِرِالْعَالِمُ عِلْمَهُ فَمَنْ لَمْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ
اَجْمَعِيْنَ”.
وقال تعالى “وَتَعَاوَنُوْاعَلَىالْبِرِّوَالتَّـقْوَى”.(
المائدة/2 )
وَقال سيدنا علي كرم الله وجهه :فَلَيْسَ اَحَدٌ وَاِنِ
اشْتَدَّ على رضاالله حِرْصُهُ وَطَالَ فِىالْعَمَلِ اجْتِهَادُهُ بِبَالِغِ
حَقِيْقَةِ مَا اللهُ اَهْلُهُ مِنَ الطَّاعَةِ. وَلَكِنْ مِنْ وَاجِبٍ حُقُوْقِ
اللهِ عَلىَ الْعِبَادِ النَّصِيْحَةُ بِمَبْلَغِ جُهْدِهِمْ وَالتَّعَاوَنُ
عَلىَاِقَامَةِالْحَقِّ بَيْنَهُمْ وَلَيْسَ امْرُؤُ وَاِنْ عَظُمَتْ فِى الْحَقِّ
مَنْزِلَتُهُ وَتُقَدِّمَتُ فِى الدِّيْنِ فَضِيْلَتُهُ بِفَوْقِ اَنْ يُعَاوَنَ
على ماحَمَلَهُ الله مِنْ حَقِّهِ، وَلاَاَمَرَؤٌ وَاِنْ صَغَّرَتْهُ النُّفُوْسُ
وَافْتَحَمَتْهُ الْعُيُوْنُ بِفَوْقٍ اَنْ يُعِيْنَ عَلَى ذَلِكَ اَوْيُعَانَ
عَلَيْهِ. فَالتَّعَاوُنُ هُوَ الَّذِيْ عَلَيْهِ مَدَارُنِظَامِ اْلأُمَمِ.
اِذْلَوْلاَهُ لَتَقَاعَدَتِ الْعَزَائِمُ وَالْهِمَمُ. لاِعْتِقَادِالْعَجْزِعَنْ
مُطَارَدَةِ الْعَوَادِيْ. فَمَنْ تَعَاوَنَتْ فِيْهِ دُنْيَاهُ وَآخِرَتَهُ
فَقَدْ كَمُلَتْ سَعَادَتُهُ وَطَابَتْ حَيَاتُهُ، وهُنَّئَتْ عَيْشَتُهُ.
قال السيد احمد بن عبدالله السقاف : انها - جمعية نهضة العلماء
- الرَّابِطَةُ قَدْسَطَعَتْ بَشَائِرُهَا، وَاجْتَمَعَتْ دَوَائِرُهَا،
وَاسْتَقَامَتْ عَمَائِرُهَافَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ عَنْهَا، أَيْنَ تَذْهَبُوْنَ
اَيُّهَاالْمُعْرِضُوْنَ كُوْنُوْامِنَ السَّابِقِيْنَ، اَوْلاَ، فَمِنَ
اللاَّحِقِيْنَ، وَاِيَّاكُمْ اَنْ تَكُوْنُوْامِنَ الْخَالِفِيْنَ
فَيُنَادِيْكُمْ لِسَانُ التَّفْرِيْعِ بِقَوَارِعَ :
- رَضُوْا بِأَنْ يَكُوْنُوْا مَعَ
الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ فَهُمْ لاَ يَفْقَهُوْنَ.( التوبة/17 )
- فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ
الاَّالْقَوْمُ الخَاسِرُوْنَ.( الأعراف/99 )
-
رَبَّنَا لاَتُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ
لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ.( ال عمران/8 )
- رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا
دُنُوْبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلاَبْرَارِ. ( ال
عمران/193 )
-
رَبَّنَا وَأَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلاَتُخْزِنَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ اِنَّكَ لاَتُخْلِفُ الْمِيْعَادَ. ( ال عمران/194 )

0 comments:
Post a Comment